Selasa, 21 Februari 2012

Cerpen Tanpa Judul


Dengan diiringi Nona pemilik café ini, aku turun ke bawah untuk diperkenalkan dengan pegawai lainnya dan mengambil seragam baruku. Kulihat tadi seragam para karyawannya lucu-lucu! Aku akan mendapatkan teman baru. Ah…, semoga tak seperti teman-temanku yang lain. Tak pernah mau memperdulikan aku. Lupakan! Mungkin saja di sini tidak seperti itu. Aku harap…begitu. Seluruh karyawan dikumpulkan untuk upacara penyambutan karyawan baru. Aku jadi nervous.
Semuanya berbaris rapi dan tersenyum kepadaku. Aku senang sekali, kuharap senyum itu tak palsu. “Baiklah semuanya, hari ini kita mendapatkan keluarga baru. Namanya Cera Cerebrum, kalian cukup memanggilnya Cera”, jelas Nona pemilik café. Aku berkata dengan tersenyum pula,”Senang sekali bisa bergabung di sini. Mohon kerjasamanya”. “Sekarang, kembalilah bekerja. Jangan lupa tunjukkan kepada Cera cara-caranya! Kalau ada sesuatu, aku akan ada di ruanganku”, ujar Nona pemilik café sambil berbalik pergi.
Seluruh karyawan menghampiriku. Salah satu karyawan membawa sesuatu dan berkata,”Namaku Natasya Sun, panggil Tasya saja. Ini! Seragam untuk hari Senin yang resmi!”. “Salam kenal, terima kasih”, ujarku senang. Ada satu karyawan lagi membawa sesuatu dan berkata,”Aku Torin Namaste, panggil saja Torin. Ini, seragam untuk hari Selasa yang ceria”. “Salam kenal, terima kasih”, ujarku senang. Ada lagi karyawan yang membawa sesuatu dan berkata,”Aku Mika Jamaika, panggil saja Mika. Aku bawakan seragam untuk hari Rabu yang gelap”.
“Salam kenal! Terima kasih”, ujarku bertambah senang. Satu karyawan lagi datang membawakan sesuatu yang sepertinya seragam hari Kamis dan berkata,”Namaku Billy Bluesea, panggil Billy saja. Kubawakan seragam hari Kamis yang simple untukmu”. “Ya, salam kenal. Terima kasih Billy”, ujarku senang. Ada lagi karyawan yang datang membawa sesuatu dan berkata,”Aku Bastian Oldone, kau bisa memanggilku Bastian saja. Seragam hari Jum’at yang special kubawakan untukmu”. “Wah! Terima kasih, salam kenal juga Bastian”, ujarku senang.
Ada lagi yang datang membawa seragam selanjutnya dan berkata,”Aku Nami Tamania, panggil saja Nami! Seragam hari Sabtu yang santai ini hanya untukmu”. “Terima kasih Nami, salam kenal juga”, ujarku senang. Ada lagi yang datang dan berkata,”Ini seragam hari Minggumu yang lucu. Namaku Tiffany Magdalena”. “Terima kasih, Tiffany”, ujarku. Ada lagi yang datang dan berkata,”Ini seragam tahun barumu yang penuh warna. Namaku Justin Greenland, salam kenal”. “Salam kenal juga Justin, terima kasih”, ujarku.
Wah! Seragamnya banyak! Lucu-lucu lagi. Ada lagi yang datang dan berkata,”Ini seragam untuk hari Valentine yang romantis, kenalkan Rosa Monalisa”. “Salam kenal Rosa, terima kasih”, ujar ku dengan senang. Ada lagi yang datang dan berkata,”Namaku Rei Kirisaki, panggil saja Rei. Seragam White Day yang tulus untukmu”. “Ah, terima kasih. Salam kenal Rei”, balasku senang.
Ada lagi yang datang dan berkata,”Hai, ada seragam dari beberapa agama. Pilihlah sesuai dengan agama yang kamu anut, Cera. Kenalkan, Jade Halcyon. Biar kujelaskan sedikit, semua yang ada di sini muslim”.”Terima kasih atas penjelasannya Jade. Aku akan memilih seragam muslim”, ujarku senang. Waw! Nama mereka aneh-aneh, tapi ternyata muslim sama sepertiku. Ehehehe! Ada lagi yang datang dan berkata,”Aku bawakan seragam kemerdekaan Negara kita. Haris Dalton”. “Ow, terima kasih Haris”, ujarku senang.
Tiba-tiba Rosa datang dengan membawa beberapa baju, bukan seragam tetapi baju dan berkata,”Ah, hampir lupa. Di sini ada asramanya, ada juga pakaian gantinya. Ada pakaian tidur, santai, jalan-jalan, dan lainnya kalau kau ingin tinggal di asramanya”. “Apa? Asrama? Kelihatannya menyenangan sekali! Terima kasih”, ujarku senang. Semuanya berkata,”Sama-sama Cera”. “Kalian baik sekali. Aku mohon, bimbinglah aku teman-teman”, ujarku sambil menunduk. Semuanya tersenyum, Billy berkata,”Tentu saja Cera, kita kan keluarga di sini”.
Aku sangat senang sekali, meski sambutannya kecil-kecilan dan mendadak, aku senang. Karena aku merasakan suatu kenyamanan saat bersama mereka semua. Apalagi saat bersama Nona Kiku, beliau sudah seperti kakak bagiku. Asrama? Mungkin inilah jawaban atas keinginanku kabur dari rumah selama ini. Apa aku boleh tinggal di asrama? Kalau boleh, mungkin aku akan betah dan tak akan kembali dan melihat orang-orang dan segala sesuatu mereka yang tak ingin lagi aku lihat. Oh, Tuhan! Bantulah aku, tuntunlah aku selalu pada jalanmu. Izinkanlah aku melakukannya, aku ingin pergi dari rumah.

The End

Cerpen Tanpa Judul


Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna. Kadang, aku sangat sedih jikalau memikirkan hal itu. Tak ada kehangatan yang kudapatkan dari sana. Keluargaku bukanlah keluarga yang berada, meski begitu seharusnya kehangatan keluarga itu lebih terasa jika keluarga itu kurang berada menurutku. Entah mengapa aku tak mendapatkan itu dari keluargaku. Sudah lama aku merencanakan pelarian dari rumah. Tapi, aku tak tahu harus tinggal di mana. Hah…, aku sangat ingin hidup mandiri dan jauh dari rumah serta keluarga ini.
Tapi, aku tak tahu harus tinggal di mana dan harus mencari kerja di mana. Karena, aku telah mencari kesana-kemari dan tak kutemukan satupun lowongan kerja. Aku merasa sangat kecewa sekali, padahal keinginanku untuk pergi dari rumah sangat besar. Suatu hari, setelah pulang sekolah, aku pergi berkeliling untuk mencari lowongan kerja. Temanku tak bisa menemani dengan alasan rumahnya jauh dan takut kalau kemalaman sampai di rumah nanti.
Terkadang aku kecewa kepada temanku yang satu itu. Hah…., saat aku sedang berjalan-jalan di sekitar gang-gang kecil, kutemukan sebuah café yang sepertinya lumayan mewah. Tapi, aneh! Masa’ membangun café di gang kecil yang jauh dari jalan raya? Tiba-tiba, mataku tertuju pada tulisan “DICARI SEORANG WAITER/WAITRESS” di depan pintunya. Sebuah harapan besar mulai muncul dan café itu seolah-olah menjadi cahaya baru di hidupku yang sangat kelam.
Semangatku yang semula hilang, kini mulai muncul. Aku segera berlari ke café itu dengan perasaan gembira. Sesampai di depan café itu, kulihat ke dalam, pegawainya lumayan banyak dan suasana di dalam café itu sangat nyaman sepertinya. Kulihat di sekitar café itu, ternyata tak ada nama. Café itu tak punya nama. Hm…, café yang aneh, tapi menurutku lebih menjurus ke unik. Dengan yakin, aku masuk ke dalam café itu. Ternyata, di depan pintu ada seorang waitress yang menyambutku dengan ramah.
“Selamat datang di café kami”, ujarnya dengan lembut. Aku membalas,”Terima kasih. Um…, jikalau ingin menjadi waitress di sini, syaratnya apa, ya? Dan…, di mana saya bisa mengkonfirmasikannya?”. “Oh, mau jadi waitress? Tak ada syarat untuk menjadi waitress di sini. Tinggal bilang kepada pemilik café ini saja. Mari, saya antarkan!”, jelasnya dengan ramah dan mempersilahkan diriku mengikutinya. Kuikutilah dia yang berjalan menuju tangga ke lantai 2.
Diperjalanan menuju lantai 2, aku bertanya kepada waitress itu,”Um…, namanya siapa, ya?”. “Namaku Tiffani. Namamu?”, tanyanya balik. Dengan senyum aku menjawab,”Namaku Cera”. “Jika ada pertanyaan lagi, akan terjawab begitu kau bekerja di café ini. Tak perlu bertanya secara langsung dengan yang lain, karena jawabannya ada di sekitar café ini pula”, ujar Tiffani dengan senyum. Hm…, agak membingungkan. Tapi, kurasa aku dapat mengerti dengan apa yang Tiffani katakan.
Tak terasa aku dan Tiffani sudah sampai di depan pintu kantor sang pemilik yang sekaligus manager di café ini. Jantungku mulai berdegup kencang. Kira-kira seperti apa managernya, ya? Apakah galak? Dan…, apakah aku akan diterima di café ini? Pelan-pelan kuketuk pintunya. Terdengarlah suara dari dalam, suaranya nampak seperti suara seorang wanita yang sangat dewasa dan berwibawa,”Masuk”. Dengan menarik nafas perlahan, aku mulai masuk. “Permisi…”, sapaku. Aku berdiri sejenak di depan pintu sambil memperhatikan manager yang sepertinya sedang sibuk menghitung-hitung segala sesuatunya.
Beliau adalah seorang wanita muda yang cantik dengan setelan jas hitamnya yang unik, berhiaskan rambut hitam berkilau panjang terurai, berkulit putih dan nampak halus serta wajah seriusnya dengan bola mata cantik yang berbinar bagai berlian. Aku terpana melihatnya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku dan berkata,”Silahkan duduk, nona”. “Oh, baik”, ujarku sambil tersadar dari lamunanku tadi.
Gara-gara wajah beliau ini sangat serius, suasana yang sepi terasa mencekam bagiku. Namun kuberanikanlah diriku untuk mengatakan maksud dan tujuanku datang ke café ini. Tanpa ada pertanyaan wawancara satupun, beliau langsung berkata,”Silahkan ambil seragam di gudang makanan dan kamu sudah bisa bekerja di sini hari ini juga dengan gaji per hari. Kamu setuju?”. “Tentu saja, Bu! Saya setuju!”, ujarku dengan gembira.
Tak kusangka aku akan mendapat pekerjaan seperti ini. Terserah mau gajinya berapa, yang penting sekarang aku sudah kerja. Ini adalah langkah awal yang bagus untukku yang ingin kabur dari rumah. Terima kasih, Tuhan….ujarku dalam hati.

THE END

Jumat, 10 Februari 2012

Cerpen Tanpa Judul


Jangan memungut kembali apa yang telah kau buang, karena apa yang telah kau buang menjadi lebih baik dari padamu ketika kau pungut kembali.

Setelah beberapa waktu berlalu, Juli tak lagi mendengar kabar Ghani yang telah hancur karena ditolak mentah-mentah oleh April. Untuk sementara, kehidupan berjalan santai dan damai bagi Juli. Namun, tak terlihat begitu bagi Ghani. Sepanjang hari, wajahnya selalu murung entah apa yang telah terjadi kepada dirinya. Ghani menjadi pendiam dan tak banyak bicara. Hal ini memang menarik perhatian Juli, akan tetapi hal tersebut tak terlalu difikirkan Juli. Karena, sejauh yang Juli lihat tidak ada masalah yang besar bagi Ghani. Dan sepertinya sikap Ghani itu hanya akan berlaku dalam waktu yang singkat. Lagi pula, Ghani juga sudah bukan siapa-siapanya Juli lagi.
Suatu hari, saat Juli keluar kelas, Ghani mencegatnya di depan pintu. Juli bingung melihat Ghani yang tidak biasanya mencegat Juli seperti itu. Dan yang anehnya lagi, Juli melihat sepertinya ada hal serius yang ingin disampaikan oleh Ghani kepadanya. Dengan senyum manisnya, Juli bertanya,”Ada apa, Ghani?”. “Bisakah kau ikut denganku sebentar?”, tanya Ghani dengan perasaan tidak enak. Juli tetap tersenyum dan menjawab,”Baiklah”. Juli pun mengikuti Ghani. Ghani berjalan dan terus berjalan tanpa menoleh kepada Juli. Tiba-tiba, Ghani berkata dengan wajah bersalahnya,”Juli…, maafkan atas perlakuan kasarku dahulu kepadamu…aku menyesal telah melakukannya, sekali lagi…aku minta maaf…”.
“Tidak apa, lagi pula aku telah melupakan kejadian itu. Jangan merasa bersalah begitu…, aku tidak apa-apa”, balas Juli kembali dengan senyum. Juli berusaha untuk terus tersenyum karena, wajah Ghani yang terlihat merasa sangat berdosa. Juli tak mau ada orang yang merasa bersalah terhadapnya, Juli hanya ingin agar orang-orang yang dia kenal merasa senang, itu saja. Juli memang seorang gadis yang sangat baik, sayang sekali dulu Ghani menolak Juli mentah-mentah. Wajah Ghani bukannya berubah senang, malah berubah menjadi semakin bersalah. Juli jadi merasa tidak enak melihat wajah Ghani yang seperti itu setelah mendengar jawaban darinya. Juli pun berkata,”Kenapa? Apa ada yang salah dengan perkataanku tadi?”.
“…, Tidak…, bukan begitu…aku….hanya…merasa….sangat hina. Karena sikapku terdahulu kepadamu. Padahal kau begitu baik…, kau sangat baik kepadaku…, maafkan aku sekali lagi….”, balas Ghani sambil menunduk. Kali ini, Juli menjadi sebal,”Sudah kukatakan tadi, tidak apa-apa. Kalau aku bilang begitu, berarti memang tidak apa-apa, jangan kau fikirkan lagi”. Ghani hanya bisa mengangguk kecil. Dan pertemuan tersebut berakhir langsung saat bell tanda akhir dari istirahat berbunyi. Tak ada kecurigaan khusus dari Juli kepada Ghani, akan tetapi…yang jadi masalahnya adalah sikap Ghani yang malah menjadi semakin parah. Dia menjadi murung dan terlihat merasa sangat bersalah sekali. Padahal, Juli sama sekali tak mempermasalahkan masa lalu meski masa lalu tersebut sangat pahit.
Juli adalah orang yang tak mau memandang masa lalu karena, hal tersebut sama sekali tak baik untuk dilakukan. Yang baik dilakukan adalah melupakan masa lalu dan menatap ke depan. Beberapa hari berlalu dan Ghani selalu mengajak Juli jalan-jalan bersama berkeliling sekolah sambil bercerita banyak hal. Setiap bertemu Juli, sepertinya Ghani mulai mengerti dan perlahan wajahnya mulai ceria kembali. Juli menjadi senang melihatnya. Namun, luka saat Ghani di putusin sama April terlihat masih tersisa. Ghani terlihat masih sangat menderita meski tak menderita amat. Suatu hari, saat Ghani dan Juli berjalan, Juli berkata,”Aku tahu masalahmu dengan April seperti apa. Tapi, kau tak bisa terus-terusan meratapi nasibmu yang malang karena April. Jangan menanggung beban itu sendirian. Karena, tak ada manusia yang bisa menahan beban berat sendirian, bagi saja bebanmu dengan orang lain. Kau hanya perlu menahan beban tersebut sedikit demi sedikit dan bangkit kembali”.
“Tapi, pada siapa aku harus membaginya?”, tanya Ghani dengan bingung. Sambil tersenyum Juli menjawab,”Bagi saja kepadaku, tak masalah kan?”. “Membagi bebanku kepadamu? Tidak, kau sudah terlalu baik kepadaku. Aku tak mau merepotkanmu”, ujar Ghani lagi dan wajah bersalahnya pun mulai muncul. Dengan wajah agak sebal Juli berkata,”Kau ini, tak apa! Kan sudah kubilang, jangan memandang kebelakang lagi, lagi pula aku sudah melupakannya! Hah…, lagi pula aku tak keberatan bila harus membagi beban denganmu. Kita kan teman, ya kan?”. “…ya”, ujar Ghani sambil mulai tersenyum. Terus menerus berlangsung seperti itu. Perlahan dan pasti, Ghani mulai bisa terseyum kembali. Suatu hari, secara tiba-tiba, Ghani menembak Juli. “Jul…”, ujar Ghani dengan wajah agak memerah.
Juli tersenyum dan bertanya,”Ya?”. ”Aku…..”, ujar Ghani dengan rasa menahan wajah merahnya yang sangat kelihatan. Juli malah melebarkan senyumnya dan kembali bertanya,”Ada apa, Ghani?”. “Um…, a…., um…., maukah kamu…..jadi…..”, ucapnya terbata-bata. Juli malah memaniskan senyumnya dan bertanya lagi,”Jadi temanmu? Kan sudah…”. “Bukan! Bukan itu….”, bantah Ghani dengan wajah merahnya. Juli malah menambahkan ekspresi manis wajahnya sebagai background senyumnya yang manis dan kembali bertanya,”Jadi? Jadi apa?”. “Jadi….pa….carku?”, ujar Ghani dengan wajah merah padamnya. Juli tetap tersenyum dan langsung menjawab,”Boleh!”. Ghani terlihat senang, tepatnya pura-pura senang. Juli dapat membacanya, Ghani yang masih hancur karena April tak mungkin dapat dengan mudah melupakan April.
Juli tahu kalau niat sebenarnya Ghani adalah balas dendam kepada April. Dengan memacari Juli, tentunya Ghani dapat memanas-manasi April. Apa kalian tahu apa alasan Juli menerima tawaran Ghani? Juli menerima Ghani karena Juli ingin Ghani merasa senang. Biarlah Ghani membalas dendamnya meski jalan itu salah, asalkan Ghani bisa senang. Juli memang anak yang baik. Pastinya pandangan kalian terhadap Juli ini adalah kalau Juli menyukai Ghani bukan? Haha! Kalian salah besar! Juli tak menyukai Ghani sama sekali, perasaan Juli terhadap Ghani itu hanyalah perasaan kasihan melihat Ghani yang hancur. Dan perasaan suka Juli itu sepertinya sukar untuk dimunculkan kembali karena sebenarnya yang sangat menderita itu adalah dirinya sendiri.
Karena luka terdahulu, perasaan suka tak pernah muncul kembali di dalam hati Juli. Luka terdahulu menutup namun, masih menyisakan trauma yang mendalam bagi diri Juli. Kasihan sekali anak itu! Esoknya, Ghani mulai beraksi, pagi-pagi sekali, dihadapan April…Ghani menyapa Juli dengan wajah riangnya yang palsu. Walau palsu, Juli tetap memancarkan senyumannya kepada Ghani. Untuk kali pertama ini, April sepertinya tak terlihat merasa marah atau jealous. Dan Ghani terlihat sebal memegang lengan seragam Juli dan menarik Juli perlahan. Saat istirahat, Ghani sengaja memanggil Juli dan mengajak Juli ke kantin berdua di depan April juga. Di kantin, Ghani membelikan Juli makanan di depan April juga. Ghani melirik-lirik ke arah April untuk memastikan kalau-kalau April cemburu. Kelihatannya begitu, April terlihat sedikit panas. Di dalam hati, Ghani merasa senang. Dia merasa telah berhasil satu langkah meski wajahnya terlihat biasa-biasa saja. Namun, Juli yang melihat mata Ghani tau kalau Ghani sedang senang sekali.
Begitulah, dan hal ini berlanjut hingga berlarut-larut. Berhari-hari Ghani memanas-manasi April tanpa bosan-bosannya. Untung Juli adalah seorang gadis yang baik yang dapat memaklumi hal bodoh yang dilakukan oleh Ghani. Hingga akhirnya suatu hari, April diputusi oleh cowo’ nya yang dulu. Cara putusnya tak jauh beda dengan saat Ghani mencaci maki April. Saat peristiwa putusnya April dengan pacarnya itu, Ghani menyeret Juli untuk menguping. Namun, Ghani membuatnya seolah-olah dia mengajak Juli untuk jalan-jalan. Juli tau akan hal tersebut, tapi Juli nurut saja dengan apa yang dikatakan oleh Ghani. Saat itu, terlihat di mata Ghani kalau dia merasa sangat senang atas putusnya April dengan cowo’ nya. Namun, di sisi lain, Ghani kembali teringat masa lalu. Masa di mana dia menolak Juli mentah-mentah.
Berhari-hari kemudian, Ghani tetap memanas-manasi April hingga pada suatu hari, April minta Ghani menjadi pacarnya kembali. Mereka bertemu hanya berdua dengan Juli sebagai pengupingnya. Padahal Juli gak sengaja lewat, eh…, malah kedengeran pembicaraan April dan Ghani. Saat itu, Ghani terlihat merasa sangat bersalah dan kali ini, secara tegas, dia menolak mentah-mentah tawaran April agar April tau apa rasanya dibuang begitu saja. Esoknya, saat istirahat, ketika Ghani sedang berdua dengan Juli, wajah Ghani terlihat merasa bersalah. Dengan penuh perhatian Juli bertanya,”Ada apa, Ni?”. “Juli…, tolong…, putusin aku. Aku…, tak pantas menjadi pacarmu”, pinta Ghani. Juli pura-pura tidak tahu dan bertanya,”Kenapa?”. “Aku…, hanya memacarimu untuk memanas-manasi April saja. Maafkan aku”, ujar Ghani lagi dengan perasaan bersalah 2 kali lipat dari sebelumnya.
Juli tersenyum dan berkata,”Aku sudah tahu soal itu”. “Apa? Dan kau tetap menerima tawaranku yang tidak serius itu?”, tanya Ghani yang terkejut mendengar jawaban dari Juli tadi. Juli tetap tersenyum dan berkata,”Ya, karena aku ingin melihat Ghani puas dan merasa bahagia”. “Kau…..kau ini….., kau ini terlalu baik. Biarkanlah aku pergi dari hidupmu sekarang. Karena aku hanya akan menjadi benalu saja. Tolong biarkan aku pergi….”, ujar Ghani dengan rasa bersalah 4 kali lipat lebih banyak dari pada sebelumnya. Juli tetap tersenyum dan berkata,”Tak ada yang perlu kau sesali. Karena, ini semua adalah mauku. Kaliu kau memang mau pergi aku tak melarang, karena itu adalah hak mu. Tapi, ingatlah! Kalau kau butuh bantuan, kau bisa menghubungi aku”. Kemudian, mereka berdua serentak berdiri dan saling bertatapan.
“Selamat tinggal, Juli”, ujar Ghani. Juli tersenyum dan menjawab,”Bukan selamat tinggal, tapi…sampai ketemu lagi”. “Ya, sampai ketemu lagi…”, ujar Ghani. Juli menjawab,”Sampai ketemu lagi!”.

THE END
>Jena. Ha? Apa keadaannya memungkinkan untuk belajar? Sepertinya Tania memaksakan dirinya sendiri untuk hadir dan belajar di sekolah.
Wajahnya makin hari menjadi makin pucat. Akan tetapi, dia tetap bisa tersenyum dengan manisnya. Saat istirahat, dengan manisnya, Jena menyuapi Tania di taman belakang sekolah. Sepertinya penyakit Tania malah semakin mempererat persahabatan mereka berdua. Ternyata, pemandangan ini juga tak kalah indahnya dengan saat Tania masih sehat. Aku mengamati mereka berdua dari jauh, pamandangannya sungguh menentramkan hati. Akan tetapi, tetap saja aku selalu kepikiran dengan hal terburuk yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut kalau Tania….., ah! Tidak! Aku ini mikir apa sih? Aku tak boleh berfikiran buruk! Aku harus memikirkan hal-hal yang baik untuk mereka berdua!
Saat pulang, Jena tetap saja mengiringi Tania. Akan tetapi, kuamati mereka berdua dari belakang, tiba-tiba…ada darah lagi keluar dari hidung Tania. Jena panic dan berusaha menghapus darah itu. Dan tiba-tiba lagi, Tania pingsan! Tapi, saat aku akan mendekat dan menolong mereka, dengan gigihnya Jena berusaha membawa Tania dan dia membuat langkahku terhenti. Wah! Begitu manisnya persahabatan mereka! Sampai-sampai Jena rela menolong Tania sendirian. Jena membawa Tania ke rumah Tania. Akupun juga menyusul. Sampai di rumah Tania, Ibu Tania menelepon Dokter. Tak beberapa lama kemudian, Dokterpun datang dan memeriksa Tania.
Setelah Dokter memeriksa, beliau berkata kepada Ibu Tania kalau untuk sementara ini Tania harus dibawa ke rumah sakit dulu. Maka dibawalah Tania ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Jena tak pernah melepaskan tangan Tania, Jena terus saja menggenggam tangan Tania dengan erat. Sesampainya Tania di rumah sakit, dia dirawat sebentar oleh Dokter kemudian Tania dibiarkan istirahat. Selama istirahat, Tania belum juga sadarkan diri dan Jena selalu setia menunggu di samping Tania. Dari luar aku terus mengamati mereka, Tania belum juga kunjung sadar. Saking lamanya, Jena tertidur di samping Tania. Sementara kedua orang tua Tania menungguinya di luar. Ibunya terus-terusan menangis di pelukan ayahnya.
Tak lama kemudian, Tania sadar serentak dengan bangunnya Jena. Dari luar aku mendengar pembicaraan mereka berdua. “Tania…, sudah sadar?”, tanya Jena dengan senyum lebarnya. Dengan senyuman rapuh di wajahnya yang pucat Tania menjawab,”Ya…, aku…di rumah sakit, ya? Kamu…, sampai ketiduran gara-gara menunggui aku ya?”. “Ah, tidak! Aku tak apa-apa! Bagaimana dengan kamu? Apa kau tidak apa-apa? Tadi kamu sempat pingsan setelah keluar darah dari hidungmu”, ujar Jena. Tania menjawab,”Ya, aku…tidak apa-apa. Jangan khawatir”. Setelah itu Tania pun tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus menunggui Tania di sana. Malampun menjelang, aku dan Jena pamit pulang.
Tapi, kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena dipaksa Tania untuk pulang dan Jena pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena berbincang-bincang,”Jena…, kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu. Jarang-jarang ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku kecil. Jena berkata,”Tentu saja aku sangat menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku Setelah itu Tania pun tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus menunggui Tania di sana. Malampun menjelang, aku dan Jena pamit pulang.
Tapi, kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena dipaksa Tania untuk pulang dan Jena pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena berbincang-bincang,”Jena…, kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu. Jarang-jarang ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku kecil. Jena berkata,”Tentu saja aku sangat menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku sendiri”.
Aku tersenyum dan kami pun pulang bersama. Esoknya, saat pulang, Jena langsung terburu-buru pergi menuju rumah sakit. Seperti biasa juga, aku mengikutinya dari belakang. Tapi, di jalan aku sempat membeli buah-buahan untuk Tania. Kan tidak enak kalau kita menjenguk tidak membawa apapun. Saat sampai di depan rumah sakit, kutarik Jena. “Eh? Yena?”, ujarnya dengan bingung. Aku tersenyum dan berkata sambil menyerahkan buah-buahan tersebut,”Hai, kalau mau menjenguk, bawa ini!”. “Terima kasih banyak!”, ujarnya sambil menerima dan kembali berlari menuju ke dalam rumah sakit. Sesampainya di kamar Tania, mereka berdua langsung mengobrol. Senyum ceria terlihat jelas dari wajah mereka berdua. Hah…, mereka ini!
Beberapa hari kemudian, Tania pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Akan tetapi, kondisi tubuhnya menjadi makin lemah saja. Terkadang sedih juga melihatnya. Sekarang, dia hanya dapat duduk di kursi roda saja. Kakinya lemas dan tak bisa bergerak. Menyedihkan sekali! Efeknya mulai terlihat. Tak banyak yang bisa dilakukan seseorang di atas kursi roda. Tapi, dengan senang hati Jena mengantar Tania jalan-jalan ke sana ke mari. Tak ada satupun kesedihan di wajah mereka berdua. Aduh!!! Mereka ini tegar sekali! Aku jadi iri melihatnya! Suatu hari, saat Jena dan Tania sedang berjalan-jalan di taman, hujan turun. Dengan cepat Jena langsung memutar kursi rodanya dan mencari tempat yang teduh.
Setelah itu, mereka berteduh dan menikmati hujan bersama. Hah…! Sungguh pemandangan yang indah!!! Hari demi hari berlalu dan terus berlalu. Waktu bersama mereka berdua menjadi semakin singkat bersamaan dengan umur Tania. Memikirkan hal itu saja sudah membuatku sedih tak tertahankan. Entah bagaimana jadinya kalau hari itu datang. Akan tetapi yang terpenting sekarang bukanlah masa depan melainkan masa sekarang. Aku berharap akan ada suatu keajaiban luar biasa yang akan dialami kedua sahabat ini. Semoga saja! Saat ini, tubuh Tania semakin melemah, dia lebih sering mimisan dari pada biasanya dan rambutnya mulai rontok karena terapi yang disarankan oleh dokter.
Pada awalnya, Tania agak minder, tapi…karena disemangati oleh Jena terus-terusan, akhirnya Tania bisa menerimanya dan tak mempermasalahkannya lagi. Suatu hari, Jena mengajak Tania untuk shopping di Mall bersama. Wah! Di Mall, terlihat mereka berdua mengomentari barang yang dipilih satu sama lain. Mereka tertawa-tawa seolah-olah Tania itu tak sakit. Setelah lelah berbelanja, mereka istirahat sejenak di sebuah Café. Di sana, mereka heboh mencemongi muka satu sama lain. Hahaha! Lucu! Mereka sampai di tegur oleh manager Café. Saat mereka membersihkan wajah masing-masing, mereka malah main air. Walah! Dan…, ngomong-ngomong kenapa tiap aku ingin mengintai mereka, selalu saja diberi kesempatan? Haha! Beruntunglah aku! Tiba-tiba, Tania kembali mimisan dan lemes. Dengan segera, Jena langsung membawanya pergi ke rumah sakit dibantu aku.
Di rumah sakit, kata Dokter, Tania hanya kecapean saja dan harus beristirahat selama beberapa hari. Dengan penuh rasa penyesalan, Jena berkata,”Maaf Tania, gara-gara aku yang mengajakmu jalan ke Mall, kamu jadi begini”. “Tidak perlu minta maaf, justru aku berterima kasih kepadamu Jena, yang tadi itu sangat menyenangkan sekali!”, bantah Tania dengan senyum manisnya. Wajah Jena mulai berseri dan dia kembali bertanya,”Benarkah?”. “Ya, tentu saja!”, balas Tania lagi dengan senyumnya. Jena berkata lagi,”Syukurlah”. Oh ya, sudah 5 bulan berlalu sejak vonis Dokter itu. Berarti, waktu yang tersisa sangat singkat. Hah…! Mengapa waktu itu sangat cepat berlalunya? Hah! Sebal aku dibuatnya!
Karena esok adalah hari libur, Jena ingin menemani Tania di rumah sakit. Tapi…, kenapa feelingku tidak enak begini? Perasaan yang aneh dan enggan hilang! Semoga tak akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Malamnya, kulihat dari luar, Tania dan Jena terlelap bersama. Tidur mereka terlihat sangat pulas sekali. Esoknya…, saat aku membuka mata, aku langsung melihat Tania dan Jena. Mereka berdua masih tertidur pulas. Karena itu, kuputuskan untuk pergi ke toilet sebentar, akan tetapi, aku tersadar akan sesuatu dan langsung masuk ke kamar Tania. Kuperhatikan wajah mereka berdua dan……ternyata benar! Wajah mereka berdua benar-benar pucat! Kutekan bell untuk memanggil Dokter dan suster lalu kusentuh wajah mereka berdua. Dingin….dingin bagaikan es……..kenapa? kenapa ini bisa terjadi?
Dokterpun datang dan mulai memeriksa mereka berdua. Aku terdiam dan bersandar ke dinding. Kuharap Dokter tak mengatakan apa yang ada difikiranku saat ini. Setelah Dokter memeriksa dan ternyata……………benar dugaanku! Tania……dan Jena……..mereka berdua meninggal pada saat yang bersamaan. Air mataku tertumpah! Kalian tahu apa yang aku rasakan? Aku merasa sangat lega. Karena, tak ada diantara mereka yang perlu menderita karena harus sendirian. Mereka meninggal bersama dan akan selalu terus bersama. Ini benar-benar mengagumkan…, takdir yang indah. Mereka dibiarkan untuk tetap bersama bahkan sampai akhir hayat mereka berdua. Ternyata sampai segitunya persahabatan mereka! Indah sekali!

The End

Karma


Jangan membuang sesuatu jikalau kau tak ingin dibuang pula.

Sejak pandangan pertama, Juli telah menyukai Ghani. Saat itu, pertemuan mereka itu seakan-akan memang telah ditakdirkan. Pertemuan itu terjadi di pintu Masjid ketika istirahat siang. Saat itu, dengan santai mereka berdua berjalan dari arah yang berlawanan menuju pintu masuk masjid dalam keadaan keduanya telah bersuci. Tiba-tiba, kancing lengan mereka berdua tersangkut satu sama lain. “Eh?”, seru mereka berdua serentak. Ghani berkata,”Aduh! Nyangkut lagi!”. Ghani berusaha menarik dan kancing bajunya pun putus. “Aduh!”, seru mereka berdua yang saling terdorong satu sama lain. Juli yang melihat kancing Ghani yang lepas, memungutnya. “Maaf”, ujar Ghani kepada Juli.
Juli berkata sambil menyerahkan kancing lengan Ghani,”Tak apa, ini kancingmu. Tadi terjatuh”. “Terima kasih”, balas Ghani lagi dengan cuek. Semenjak pertemuan pertama itulah Juli jadi suka kepada Ghani. Pada awalnya, Juli belum pernah melihat Ghani sebelumnya. Dengan bertanya sana-sini, akhirnya Juli tahu tentang Ghani. Sampai sekarang pun masih tetap begitu. Akan tetapi, Juli tak berani mengungkapkan isi hatinya. Ia tak punya keberanian untuk itu. Dan lagi pula, aneh baginya jikalau seorang cewe’ nembak seorang cowo’. Karena suka, otomatis Juli akan mencari tahu tentang kebiasaan, tempat nongkrong, dan sebagainya tentang Ghani.
Mereka yang awalnya jarang bertemu, malah jadi sering ketemu. Juli sih senang-senang saja, sayangnya lain dengan Ghani. Ghani malah cuek-cuek saja sama Juli. Padahal semua orang di sekolah dengan mudahnya membaca wajah Juli yang sedang falling in love dengan si Ghani. Entah si Ghani itu bisa membaca juga atau tidak, yang jelas dia hanya bersikap cuek dan biasa saja dengan Juli. Suatu hari, Juli sedang lewat di depan ruang kelas Ghani. Dari luar, terdengarlah percakapan Ghani dan teman-temannya oelh Juli. Doni teman Ghani menyindir,”Eh Ghani! Cewe’ kelas khusus itu kelihatannya suka sama kamu”. “Apa sih? Biasa aja kali”, bantah Ghani. Budi berkata,”Ah, kamu ini! Masa’ gak bisa membaca wajahnya sih? Kelihatan banget kalau dia tu suka ama kamu”.
“Apa lah kalian, ni? Biarin aja dia suka sama aku, aku gak suka sama dia. Aku gak punya feel sama dia”, omong Ghani dengan santainya. Juli yang mendengar kata-kata itu, merasa sangat sedih. Dia mundur dan menjauh dari kelas itu, setelah cukup jauh, dia pun berlari. Di dalam hati, Juli bergumam,”Ternyata, dia tidak menyukaiku. Bahkan dengan terang-terangan dia berkata seperti itu kepada teman-temannya. Dia…benar-benar tak menyukaiku…, ternyata…semua yang kulakukan selama ini sia-sia! Aku hanya mengharapkan sesuatu yang sia-sia. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sangat menyukainya, tapi dia tak menyukaiku. Apa? Apa yang harus aku lakukan?”.
Walau tahu kalau Ghani tidak menyukainya namun, berat bagi Juli untuk melupakan Ghani saking sukanya Juli kepada Ghani. Esoknya, Juli masih bingung memikirkan soal Ghani. Karena Juli telah tahu bagaimana perasaan Ghani kepadanya, ada niat di hati Juli untuk melupakan Ghani. Akan tetapi, susah sekali untuk Juli melupakan Ghani. Sampai saat pulang pun, Juli masih bingung. Saat berjalan di lorong sekolah, tak sengaja dari jauh terlihat Ghani dengan seorang anak perempuan sedang berbicara. Kelihatannya mereka berdua serius sekali. Setelah dilihat-lihat, ternyata anak perempuan itu adalah April. Yah, gossipnya Ghani menyukai April dan April pun juga begitu.
Karena hanya gossip, Juli tak terlalu menyimpannya di dalam hati. Tapi ternyata, mungkin gossip itu benar. Wajah Ghani dan April terlihat sama-sama merah. Sepertinya, Ghani sedang menembak April. “BRUAK!!!”, “DUAR!!!” begitulah mungkin kira-kira gambaran perasaan Juli yang hancur lebur saat itu juga. Rasanya, Juli ingin menangis sehisteris mungkin melihat Ghani dan April. Enggan rasa hatinya yang ingin melewati lorong satu-satunya yang menuju pintu gerbang itu. Karena itu, Juli memutuskan untuk menunggui mereka berdua. Akan tetapi, Ghani dan April itu lama sekali. Sambil menahan kesedihan yang luar biasa, Juli bersembunyi menunggu mereka berdua.
Setelah beberapa lama, akhirnya Ghani dan April selesai dengan penutupan pegangan tangan yang dengan tak sengaja terlihat oleh Juli. “PRANG”, bunyi sesuatu yang pecah di dalam hati Juli. Juli berusaha menahan tangisnya. Tanpa diduga, Ghani malah berjalan ke arah di mana Juli bersembunyi. Ghani pun mengagetkan Juli yang sedang bersembunyi dan takut ketahuan,”Sedang apa kamu di sini?”. “Ah.., um…., aku….”, jawab Juli dengan wajah ketakutan karena sudah ketahuan. Dengan wajah malas luar biasa Ghani berkata,”Tak perlu membututiku terus, aku tidak suka padamu! Lagi pula aku sudah jadian sama April. Kamu jika dibandingkan dengan April itu jauh! Hentikan sikapmu yang selalu membututiku, itu menyebalkan tau!”.
Juli terdiam, tak ada yang dapat dia katakan lagi. Kepalanya tertunduk, air matanya mengalir deras tanpa ada suara dari bibirnya. Sementara Ghani, pergi tanpa merasa berdosa sedikitpun. Setelah Ghani pergi, Juli terduduk dan tangannya menutupi wajahnya yang berlinang air mata. Dan dengan suara isaknya, ia menangis sejadi-jadinya. Sakit sekali hatinya karena perkataan Ghani yang begitu kasar. Sedih dan rasa penyesalan Juli bercampur aduk menjadi satu. Ia sangat menyesal karena ia pernah menyukai seorang cowo’ seperti Ghani. Begitu hancur hatinya sampai air matanya terasa tak habis mengalir di pipinya. Lama Juli menangis di sana, hanya terduduk diam dan menagis terus-terusan.
Tak beberapa lama kemudian, Juli berhenti menangis dan menetapkan kalau Ghani bukanlah cowo’ yang baik dan Juli harus melupakannya. Dengan keyakinan hati yang semakin mantap, Juli terus berusaha melupakan Ghani. Dan, akhirnya dalam waktu singkat Juli sudah dapat melupakan Ghani. Di hati Juli tak ada tempat special lagi untuk Ghani. Di mata Juli, Ghani hanyalah anak laki-laki biasa. Juli berhasil! Namun, sejak Ghani dan April jadian, proses hubungan mereka selalu tak sengaja diketahui oleh Juli secara langsung. Juli santai saja karena Juli sudah tak peduli lagi dengan itu. Seperti kali ini, saat istirahat, Juli yang melewati taman sekolah tak sengaja melihat dan mendengar percakapan Ghani dan April yang sedang berduaan dan membicarakan kencan mereka yang telah kesekian kalinya.
Yang dibicarakan Ghani dan April itu selalu itu-itu saja. Paling kalau pembicaraan baru mereka ya…kencan mereka itulah. Sampai-sampai Juli bosan mendengar pembicaraan tersebut. Dengan santai, Juli berlalu begitu saja dari sana. Dan seminggu yang lalu, di gerbang sekolah, tak sengaja lagi Juli melihat Ghani dan April yang sepertinya akan pergi kencan bersama. Pemandangan itu tak pernah sekalipun mengusik Juli. Sudah hampir 3 bulan hubungan Ghani dan April berjalan, kelihatannya hubungan mereka lancar-lancar saja.
Suatu hari, terlihat ada perubahan pada April. April yang biasanya berbinar-binar matanya dan merah mukanya kalau bertemu dengan Ghani menjadi biasa-biasa saja saat bertemu dengan Ghani pagi ini. Juli yang selalu melihat perkembangan hubungan mereka secara tidak sengaja, menjadi bingung atas tingkah April yang berubah. Saat bertemu dengan Ghani, tak satupun senyum tulus April muncul darinya. Yang ada hanyalah senyum palsu yang manisnya terasa tawar saat dilihat. Awalnya, Ghani terlihat seperti biasa saja, tetap senyum dan perhatian kepada April. Akan tetapi, karena sikap aneh April berlangsung terus-terusan, mulailah muncul kekecewaan di mata Ghani.
Sepertinya Ghani kecewa sekali kepada sikap April yang berubah derastis itu. Ghani terlihat seperti menderita, sangat menderita. Juli yang melihat seluruh kejadian itu menjadi kasihan kepada Ghani. Di mata Juli, Ghani seperti mulai dicampakkan oleh April. Sosok Ghani yang dulunya luar biasa, menjadi sangat menyedihkan sekarang. Hubungan mereka berdua mungkin tak akan lama lagi. Juli menjadi sangat kasihan kepada Ghani. Saat pulang, tak sengaja Juli melihat Ghani sedang berjalan sendirian dan April menuju ke halaman belakang sekolah setelah melihat Ghani pergi. Juli yang melihat gelagat aneh dari April, secara diam-diam langsung mengikuti April.
Ternyata, di halaman belakang sekolah, telah menunggu seorang anak laki-laki yang memang murid sini dan berbeda kelas dengan April. Dengan wajah cerianya, April berlari menuju ke arah anak laki-laki itu dan mereka berdua pergi dari sana sambil berpegangan tangan. “Jangan-jangan…, itu adalah pacar barunya April. Kalau begitu…, kasihan sekali Ghani. Ghani diduakan”, gumam Juli dalam hati dengan rasa iba yang terus bertambah. Juli merasa iba kepada Ghani, namun…, perasaan sukanya benar-benar telah lenyap kepada Ghani. Perselingkuhan April berlangsung terus menerus dan membuat Ghani terlihat semakin menderita dan menyedihkan.
Sepertinya, Ghani benar-benar telah dibuang mentah-mentah oleh April. Suatu hari, akhirnya Ghani pun tahu soal perselingkuhan April dan untuk menutupi kesalahannya, tanpa merasa berdosa April memutuskan hubungannya di depan selingkuhannya dan tak sengaja pula terlihat oleh Juli. Saat itu, Ghani hancur. Sama seperti saat Juli merasa hancur karena telah ditolak mentah-mentah oleh Ghani dulu. Mungkin itulah yang dinamakan karma. Maka dari itu, kita sebagai manusia jangan sombong, nanti balasan dari Tuhan akan datang kepada kita. Mungkin itulah yang terjadi kepada Ghani sekarang, kasihan sekali dia.

THE END

Kebersamaan yang indah adalah kebersamaan yang abadi.

Di kelasku, kelas 2C, ada dua orang sahabat yang selalu bersama. Entah kenapa bisa begitu, banyak orang yang heran melihat keakuran mereka berdua. Duduk selalu berdua, piket selalu berdua, pergi ke kantin selalu berdua, datang selalu berdua, kerja kelompok selalu berdua, dan lainnya. Terkadang banyak orang iri melihat keakuran mereka berdua. Memang banyak orang-orang seperti mereka yang bersahabat di sekolah ini, namun tak ada yang selalu berdua seperti mereka. Terkadang bersama terkadang sendiri. Hari ini pun di sekolah, mereka kembali datang berbarengan dan duduk berdua. Hah…, rasanya iri sekali melihat mereka yang sangat akur itu. Bahkan selama yang kau ingat, mereka berdua tak pernah bertengkar.
Oh ya, namaku adalah Yena. Aku adalah salah satu siswi kelas 2C. Aku memang kadang-kadang suka memperhatikan seseorang, apalagi teman-teman sekelas. Perubahan yang mereka lakukan, kebiasaan mereka, tempat nongkrong mereka dan lainnya. Terkadang aku iseng mencari tahu sendiri dan terkadang tak sengaja melihat dan mengetahuinya. Begitu juga yang terjadi dengan dua sahabat ini. Karena mereka terus berdua, jadinya perhatianku tertuju kepada mereka. Karena melihat keakuran mereka yang sangat bagus, tak pernah terlintas di benakku kalau persahabatan mereka akan hancur begitu saja. Rasanya tak mungkin karena mereka berdua begitu akrab.
Satu lagi, nama kedua sahabat itu adalah Jena dan Tania. Suatu hari, kami bersekolah seperti biasa. Dan pagi-pagi sekali, mereka sudah datang berbarengan, duduk berbarengan dan piket berbarengan pula. Wah! Wah! Kedua sahabat ini juga anak-anak yang rajin! Terkadang aku berfikir, mengapa mereka bisa dan aku tidak? Mereka nampak sempurna di mataku. Pelajaran pun dimulai, dan dengan kompaknya mereka bersama-sama menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan Guru dengan benar. Saat istirahatpun mereka menuju ke kantin berbarengan, memesan makanan yang sama dan duduk bersama pula. Aduh! Mereka ini kompak sekali! Membuat aku menjadi semakin iri dengan mereka berdua!
Saat pulang pun mereka berbarengan, meski selalu berdua, mereka juga ramah kepada teman-teman yang lainnya. Esoknya, tetap berjalan seperti biasa. Akan tetapi, entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak melihat mereka berdua. Tak ada lagi perasaan iri atas keakuran mereka. Ada apa ini? Kira-kira apakah yang akan terjadi? Rasanya ada yang berubah, kenapa ya? Semoga saja hanya angin lalu. Jangan sampai perasaan yang tidak enak ini berhubungan dengan persahabatan mereka. Aku tak mau pemandangan yang indah ini menjadi pemandangan yang buruk. Esoknya, kuamati lagi mereka berdua dan tak ada perubahan apa-apa. Dan esoknya lagi, yang masuk sekolah hanyalah Jena. Kemana Tania? Hm…., perubahan yang mencolok.
Pagi-pagi sekali saat Jena sudah datang, kudekati dia dan aku bertanya,”Jen, mana Tania?”. “Kata orang tuanya dia sakit”, jawabnya lesu. Aku kembali bertanya,”Sakit apa?”. ”Entahlah, kemarin saat pulang bersamaku, tubuhnya tiba-tiba lemas dan dia mimisan”, jawabnya lagi dengan lesu. Kasihan…, pastinya Jena sangat khawatir terhadap Tania. Sepanjang pelajaran, Jean tak bisa berkonsenterasi. Yang dilakukannya hanya melamun, melamun dan melamun. Hah…, tak kusangka pemandangan yang tadinya sangat indah malah menjadi sangat buruk. Tapi, kira-kira Tania sakit apa, ya? Pasti saat pulang nanti Jena akan menjenguk Tania. Aku juga, ah! Aku ikut-ikutan khawatir jadinya. Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, yaitu saat pulang. Dengan terburu-buru Jena pergi dan dia meninggalkan jaketnya di kelas.
Aku ambil jaketnya dan aku pergi menuju ke rumah Tania. Sepertinya Jena telah sampai duluan. Saat aku sampai, kuketuk pintunya dan yang membuka adalah Ibunya Tania. “Permisi, Tante, Tanianya ada?”, tanyaku dengan sopan. Dengan wajah agak cemas sambil tersenyum kecil Ibunya Tania menjawab,”Ada, dia sedang beristirahat di kamarnya. Tadi Jena juga datang menjenguknya, Yena mau langsung ke atas?”. “Ah, nanti saja! Yena tidak ingin mengganggu mereka. Boleh Yena berbicara dengan Tante saja? Karena ada yang ingin Yena tanyakan”, balasku dengan wajah polosku. Tante tersenyum kecil namun masih terlihat jelas di wajahnya kalau dia sedang memikirkan sesuatu.
Pasti ada masalah dengan Tania. Apa ini berhubungan dengan penyakit Tania? Apakah penyakitnya parah? Jangan sampai! Kemudian, aku dipersilahkan duduk dan disuguhi air minum. Aku berkata dengan tidak enak,”Ah, tak perlu repot-repot, Tante”. “Tak apa-apa”, balasnya kecil. Lalu tanpa basa-basi lagi aku langsung bertanya,”Kenapa wajah Tante nampak muram begitu?”. “Ini…, masalah penyakitnya Tania”, jawab beliau dengan lesu. Aku bingung dan kembali bertanya,”Memangnya ada apa dengan penyakit Tania? Apa penyakitnya Tante?”. “Begini…, kemarin kami telah memeriksakan penyakitnya ke dokter. Dokternya berkata kalau Tania positif terkena….Leukimia”, jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
Apa? Leukemia? Kenapa sampai separah itu? Pantas saja wajah Tante jadi tidak karuan seperti itu. Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban Tante. Leukemia…, pasti banyak yang telah tau apa itu leukemia. Biasanya, orang yang terkena penyakitn ini divonis hidupnya tak akan lama lagi. Aku kembali bertanya,”Apa tak ada donor sum-sum buat Tania, Tante?”. “Itulah masalahnya! Tak ada donor yang sesuai…., Tante bingung harus bagaimana lagi”, ujar Tante sambil berlinang air mata. Aku memeluk Tante yang sedang menangis dan berusaha menenagkannya. Tante kembali berkata,”Dan…, yang paling menyedihkannya lagi….sisa umur Tania divonis tinggal….6 bulan lagi”.
Apa? 6 bulan? Itu…itu terlalu singkat! Oh Tuhan! Kenapa semuanya jadi begini? Bagaimana caranya hamba bisa mencegah perpisahan kedua sahabat ini yang hanya tinggal 6 bulan lagi? Tolong beri tahu Hamba! Jeritku dalam hati. Meski mereka memang bukanlah teman dekatku, aku dapat merasakan penderitaan mereka. Pasti sangat menderita rasanya ketika kau tahu kalau sahabatmu sakit keras dan umurnya hanya tinggal 6 bulan lagi. Hah…, tak pernah terlintas di fikiranku kalau kedua sahabat ini akan terpisah juga akhirnya. Setelah Tante mulai tenang, aku pergi ke kamarnya Tania. Aku berdiri di pintunya saja. Tampaknya mereka sedang bercakap-cakap.
Kuintip sedikit dari pintu, nampaknya wajah Jena sangat ceria. Sangat berbeda dengan di sekolah lagi. Sementara Tania hanya bisa terbaring lemas dan tersenyum dengan wajah pucatnya. Oh ya, apakah Jena tahu kalau Tania…sakit leukemia? Kufikir begitu, karena ekspresi wajahnya sangat berbeda dari yang tadi di sekolah. Jena berusaha ceria di depan sahabatnya yang sedang sakit itu. Pasti berat sekali rasanya bagi Jena untuk berekspresi seperti itu demi Tania. Pasti di dalam hatinya, Jena menangis sedih karena umur sahabatnya tercinta hanya tinggal 6 bulan lagi. Hah…, menyedihkan sekali kisah persahabatan mereka. Detik demi detik telah berlalu, tak kunjung jua Jena puas berbincang-bincang dengan Tania. Tak kunjung jua aku beranjak dari depan pintu kamar. Aku mendengarkan pembicaraan mereka. Tak ada satupun yang menyinggung tentang masalah penyakitnya Tania.
Mereka hanya bercanda dan terus bercanda. Pastinya Jena sangat ingin menghibur Tania. Kasihan sekali mereka!!! Sorepun menjelang, akhirnya dengan berat hati Jena pamit dengan Tania. Sepertinya berat sekali rasanya bagi Jena untuk meninggalkan Tania. Saat dia keluar, tentunya dia akan melihatku yang ada di depan pintu. “Yena? Mau menjenguk juga?”, tanya Jena sambil berusaha menyembunyikan wajah sedihnya. Dengan tersenyum kecil aku menjawab,”Ya, kamu sudah mau pulang?”. “Ya”, jawabnya dengan lesu. Sambil tersenyum kecil lagi, aku menjawab,”Ya, hati-hati”. Jena mengangguk. Sementara aku masuk ke dalam kamar Tania. Aku menyapanya,”Hai”. “Hai, Yena…”, balasnya dengan suara parau dan senyum wajah pucatnya.
Aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya dan tiba-tiba Tania berkata,”Yena…, hidupku sudah tak lama lagi….apalah gunanya diriku ini? Kenapa Jena masih saja berusaha menghiburku?”. “Eh? Kok bicara begitu? Tentunya Jena tak mau menyianyiakan masa-masa singkat denganmu. Pastinya dia akan gunakan semua sisa waktu dengan sebaik-baiknya. Kamu tak boleh menyerah sekarang, karena masih ada temanmu yang membutuhkanmu”, nasihatku dengan lembut. Sepertinya Tania sudah mulai menyerah, apalah arti hidupnya yang hanya tinggal 6 bulan lagi. Dan keadaannya pun akan terus menerus memburuk seiring berjalannya waktu.
Malangnya nasib anak satu ini….!!! Setelah berbincang-bincang, aku pun pamit pulang. Dalam perjalanan pulang, aku merasa sangat sedih dan kasihan terhadap nasib mereka berdua. Yang satu sangat pasrah dengan hidupnya dan yang satu lagi berusaha menahan kesedihannya dengan cara memasang wajah ceria. Waktu mereka sangat sedikit, pastinya sangat menyakitkan…, yah…mau diapakan lagi? Esoknya…, Jena masih saja tak konsenterasi. Pasti difikirannya hanya ada Tania, Tania dan Tania. Sangat berat mungkin perasaan mereka berdua untuk berpisah. Saat pulang, Jena kembali terburu-buru pulang menuju rumah Tania.
Aku kembali mengikutinya dan tak lupa mampir membawa buah-buahan untuk menjenguk Tania. Kulihat mereka berdua sedang asik berbincang-bincang dengan riangnya. Pedih sekali rasanya melihat mereka berdua yang gembira. Tak peduli apakah yang akan terjadi nanti, tak peduli mereka berdua akan berpisah…, mereka tetap saja merasa senang. Mereka terlarut berdua dalam dunianya, seperti tak akan ada yang bisa mengganggu ketentraman mereka berdua. Untuk hari ini, aku tak masuk menemui Tania. Cukuplah dengan Jena saja. Esoknya, aku terkejut karena, Tania masuk diiringi Jena. Ha? Apa keadaannya memungkinkan untuk belajar? Sepertinya Tania memaksakan dirinya sendiri untuk hadir dan belajar di sekolah.
Wajahnya makin hari menjadi makin pucat. Akan tetapi, dia tetap bisa tersenyum dengan manisnya. Saat istirahat, dengan manisnya, Jena menyuapi Tania di taman belakang sekolah. Sepertinya penyakit Tania malah semakin mempererat persahabatan mereka berdua. Ternyata, pemandangan ini juga tak kalah indahnya dengan saat Tania masih sehat. Aku mengamati mereka berdua dari jauh, pamandangannya sungguh menentramkan hati. Akan tetapi, tetap saja aku selalu kepikiran dengan hal terburuk yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut kalau Tania….., ah! Tidak! Aku ini mikir apa sih? Aku tak boleh berfikiran buruk! Aku harus memikirkan hal-hal yang baik untuk mereka berdua!
Saat pulang, Jena tetap saja mengiringi Tania. Akan tetapi, kuamati mereka berdua dari belakang, tiba-tiba…ada darah lagi keluar dari hidung Tania. Jena panic dan berusaha menghapus darah itu. Dan tiba-tiba lagi, Tania pingsan! Tapi, saat aku akan mendekat dan menolong mereka, dengan gigihnya Jena berusaha membawa Tania dan dia membuat langkahku terhenti. Wah! Begitu manisnya persahabatan mereka! Sampai-sampai Jena rela menolong Tania sendirian. Jena membawa Tania ke rumah Tania. Akupun juga menyusul. Sampai di rumah Tania, Ibu Tania menelepon Dokter. Tak beberapa lama kemudian, Dokterpun datang dan memeriksa Tania.
Setelah Dokter memeriksa, beliau berkata kepada Ibu Tania kalau untuk sementara ini Tania harus dibawa ke rumah sakit dulu. Maka dibawalah Tania ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Jena tak pernah melepaskan tangan Tania, Jena terus saja menggenggam tangan Tania dengan erat. Sesampainya Tania di rumah sakit, dia dirawat sebentar oleh Dokter kemudian Tania dibiarkan istirahat. Selama istirahat, Tania belum juga sadarkan diri dan Jena selalu setia menunggu di samping Tania. Dari luar aku terus mengamati mereka, Tania belum juga kunjung sadar. Saking lamanya, Jena tertidur di samping Tania. Sementara kedua orang tua Tania menungguinya di luar. Ibunya terus-terusan menangis di pelukan ayahnya.
Tak lama kemudian, Tania sadar serentak dengan bangunnya Jena. Dari luar aku mendengar pembicaraan mereka berdua. “Tania…, sudah sadar?”, tanya Jena dengan senyum lebarnya. Dengan senyuman rapuh di wajahnya yang pucat Tania menjawab,”Ya…, aku…di rumah sakit, ya? Kamu…, sampai ketiduran gara-gara menunggui aku ya?”. “Ah, tidak! Aku tak apa-apa! Bagaimana dengan kamu? Apa kau tidak apa-apa? Tadi kamu sempat pingsan setelah keluar darah dari hidungmu”, ujar Jena. Tania menjawab,”Ya, aku…tidak apa-apa. Jangan khawatir”. Setelah itu Tania pun tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus menunggui Tania di sana. Malampun menjelang, aku dan Jena pamit pulang.
Tapi, kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena dipaksa Tania untuk pulang dan Jena pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena berbincang-bincang,”Jena…, kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu. Jarang-jarang ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku kecil. Jena berkata,”Tentu saja aku sangat menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku Setelah itu Tania pun tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus menunggui Tania di sana. Malampun menjelang, aku dan Jena pamit pulang.
Tapi, kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena dipaksa Tania untuk pulang dan Jena pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena berbincang-bincang,”Jena…, kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu. Jarang-jarang ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku kecil. Jena berkata,”Tentu saja aku sangat menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku sendiri”.
Aku tersenyum dan kami pun pulang bersama. Esoknya, saat pulang, Jena langsung terburu-buru pergi menuju rumah sakit. Seperti biasa juga, aku mengikutinya dari belakang. Tapi, di jalan aku sempat membeli buah-buahan untuk Tania. Kan tidak enak kalau kita menjenguk tidak membawa apapun. Saat sampai di depan rumah sakit, kutarik Jena. “Eh? Yena?”, ujarnya dengan bingung. Aku tersenyum dan berkata sambil menyerahkan buah-buahan tersebut,”Hai, kalau mau menjenguk, bawa ini!”. “Terima kasih banyak!”, ujarnya sambil menerima dan kembali berlari menuju ke dalam rumah sakit. Sesampainya di kamar Tania, mereka berdua langsung mengobrol. Senyum ceria terlihat jelas dari wajah mereka berdua. Hah…, mereka ini!
Beberapa hari kemudian, Tania pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Akan tetapi, kondisi tubuhnya menjadi makin lemah saja. Terkadang sedih juga melihatnya. Sekarang, dia hanya dapat duduk di kursi roda saja. Kakinya lemas dan tak bisa bergerak. Menyedihkan sekali! Efeknya mulai terlihat. Tak banyak yang bisa dilakukan seseorang di atas kursi roda. Tapi, dengan senang hati Jena mengantar Tania jalan-jalan ke sana ke mari. Tak ada satupun kesedihan di wajah mereka berdua. Aduh!!! Mereka ini tegar sekali! Aku jadi iri melihatnya! Suatu hari, saat Jena dan Tania sedang berjalan-jalan di taman, hujan turun. Dengan cepat Jena langsung memutar kursi rodanya dan mencari tempat yang teduh.
Setelah itu, mereka berteduh dan menikmati hujan bersama. Hah…! Sungguh pemandangan yang indah!!! Hari demi hari berlalu dan terus berlalu. Waktu bersama mereka berdua menjadi semakin singkat bersamaan dengan umur Tania. Memikirkan hal itu saja sudah membuatku sedih tak tertahankan. Entah bagaimana jadinya kalau hari itu datang. Akan tetapi yang terpenting sekarang bukanlah masa depan melainkan masa sekarang. Aku berharap akan ada suatu keajaiban luar biasa yang akan dialami kedua sahabat ini. Semoga saja! Saat ini, tubuh Tania semakin melemah, dia lebih sering mimisan dari pada biasanya dan rambutnya mulai rontok karena terapi yang disarankan oleh dokter.
Pada awalnya, Tania agak minder, tapi…karena disemangati oleh Jena terus-terusan, akhirnya Tania bisa menerimanya dan tak mempermasalahkannya lagi. Suatu hari, Jena mengajak Tania untuk shopping di Mall bersama. Wah! Di Mall, terlihat mereka berdua mengomentari barang yang dipilih satu sama lain. Mereka tertawa-tawa seolah-olah Tania itu tak sakit. Setelah lelah berbelanja, mereka istirahat sejenak di sebuah Café. Di sana, mereka heboh mencemongi muka satu sama lain. Hahaha! Lucu! Mereka sampai di tegur oleh manager Café. Saat mereka membersihkan wajah masing-masing, mereka malah main air. Walah! Dan…, ngomong-ngomong kenapa tiap aku ingin mengintai mereka, selalu saja diberi kesempatan? Haha! Beruntunglah aku! Tiba-tiba, Tania kembali mimisan dan lemes. Dengan segera, Jena langsung membawanya pergi ke rumah sakit dibantu aku.
Di rumah sakit, kata Dokter, Tania hanya kecapean saja dan harus beristirahat selama beberapa hari. Dengan penuh rasa penyesalan, Jena berkata,”Maaf Tania, gara-gara aku yang mengajakmu jalan ke Mall, kamu jadi begini”. “Tidak perlu minta maaf, justru aku berterima kasih kepadamu Jena, yang tadi itu sangat menyenangkan sekali!”, bantah Tania dengan senyum manisnya. Wajah Jena mulai berseri dan dia kembali bertanya,”Benarkah?”. “Ya, tentu saja!”, balas Tania lagi dengan senyumnya. Jena berkata lagi,”Syukurlah”. Oh ya, sudah 5 bulan berlalu sejak vonis Dokter itu. Berarti, waktu yang tersisa sangat singkat. Hah…! Mengapa waktu itu sangat cepat berlalunya? Hah! Sebal aku dibuatnya!
Karena esok adalah hari libur, Jena ingin menemani Tania di rumah sakit. Tapi…, kenapa feelingku tidak enak begini? Perasaan yang aneh dan enggan hilang! Semoga tak akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Malamnya, kulihat dari luar, Tania dan Jena terlelap bersama. Tidur mereka terlihat sangat pulas sekali. Esoknya…, saat aku membuka mata, aku langsung melihat Tania dan Jena. Mereka berdua masih tertidur pulas. Karena itu, kuputuskan untuk pergi ke toilet sebentar, akan tetapi, aku tersadar akan sesuatu dan langsung masuk ke kamar Tania. Kuperhatikan wajah mereka berdua dan……ternyata benar! Wajah mereka berdua benar-benar pucat! Kutekan bell untuk memanggil Dokter dan suster lalu kusentuh wajah mereka berdua. Dingin….dingin bagaikan es……..kenapa? kenapa ini bisa terjadi?
Dokterpun datang dan mulai memeriksa mereka berdua. Aku terdiam dan bersandar ke dinding. Kuharap Dokter tak mengatakan apa yang ada difikiranku saat ini. Setelah Dokter memeriksa dan ternyata……………benar dugaanku! Tania……dan Jena……..mereka berdua meninggal pada saat yang bersamaan. Air mataku tertumpah! Kalian tahu apa yang aku rasakan? Aku merasa sangat lega. Karena, tak ada diantara mereka yang perlu menderita karena harus sendirian. Mereka meninggal bersama dan akan selalu terus bersama. Ini benar-benar mengagumkan…, takdir yang indah. Mereka dibiarkan untuk tetap bersama bahkan sampai akhir hayat mereka berdua. Ternyata sampai segitunya persahabatan mereka! Indah sekali!

The End

Minggu, 05 Februari 2012

Cerpen Tanpa Judul 1


Jangan terus-terusan menatap masa lalu, tataplah masa depan.

Di ruangan sepi dan sunyi…, aku duduk di atas sebuah kursi kecil dengan meja di depannya. Dia atas meja tersebut telah tersedia berbagai macam kue beserta teh sebagai teman makannya. Mataku tertuju kepada pemandangan di luar, warna langitnya seperti terbakar, banyak serangga yang masih bermain ria di taman depan rumah yang bunga-bunganya bermekaran, angin yang sepoi-sepoi, dan hal menyenangkan lainnya. Akan tetapi…, perasaanku rasanya tak karuan saat ini. Mataku memandang kosong ke arah luar, hatiku sedih ketika melihat pemandangan ini. Karena, aku teringat akan….Ibu. Ibu…, bagaikan sore yang selalu menyejukkan dan menentramkan hatiku. Aku sangat menyayangi Ibu, begitu juga sebaliknya dengan Ibu.
Dulu, aku selalu memandangi sore bersama Ibu. Kini, aku memandanginya sendirian. Rasanya…., tak sama, rasanya…berbeda…, karena Ibu sudah tak ada bersamaku lagi. Ibu sudah pergi…., pergi jauh dari dunia ini…., dan mengawasiku dari atas sana. Memang kematian pasti akan menimpa setiap orang, dan kita tak dapat membantahnya. Akan tetapi, entah kenapa…, hatiku tak bisa menerima kematian Ibu. Semenjak hari itu, hatiku menjadi tak karuan. Seakan-akan aku ingin berteriak,”INI TIDAK ADIL!!!”. Akan tetapi, meski aku berteriak sampai suaraku tak dapat keluar pun Ibu tak akan kembali. Aku sadar kalau aku salah karena tak bisa menerima kepergian Ibu, akan tetapi…, aku membutuhkan suatu perkataan yang dapat meyakinkanku kembali.
Selama ini, yang bisa meyakinkanku hanyalah Ibu…, dan sekarang…, beliau telah pergi. Siapakah yang akan memberikan perkataan itu? Seseorang…, tolong aku!!! Bantu aku!!! Meski aku berharap begitupun, tak ada orang yang dating menolongku. Semakin lama…aku semakin termakan perasaan tak karuan ini. Aku merasa kalau aku ini hanya sendirian. Tiba-tiba, ada yang memelukku dari belakang dan berkata,”Kenapa tidak dimakan kue-nya?”, yang ternyata yang memeluk adalah Kakakku. “Tidak lapar…”, balasku kecil. Kakak berkata dengan lembut,”Jangan berbohong kepadaku! Aku tahu kalau kau sedang memikirkan Ibu. Sudahlah! Kau ini, memang selama ini aku hanya diam. Akan tetapi, tak kusangka kalau adikku akan jadi seperti ini”.
Aku tersadar, ternyata Kakak peduli kepadaku. “Apa alasanmu diam terus? Kenapa kau tidak menyemangatiku?”, tanyaku kepadanya. Kakak menjawab,”Karna aku percaya kalau adikku itu adalah seorang adik yang kuat. Dan tak akan goyah hanya karena kematian Ibu semata”. “Tapi, ini kan kematian Ibu!”, protesku lagi dengan nada tinggi. Dengan agak marah juga, Kakak menjawab,”Tapi tak perlu menjadi sehancur kamu, kan? Lagi pula kamu fikir Ibu akan senang jika melihatmu begini?”. Aku tersadar dan merasa bersalah. Mengapa tak kusadari sebelumnya? Aku ini…terlalu egois! Maafkan aku…Ibu! Kini aku tak akan membuat Ibu khawatir lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, aku memeluk Kakakku dengan erat.

The End

Oleh: Nisa Kurnia Sari

Sabtu, 04 Februari 2012

Cerpen Misteri Rumah Kosong


MISTERI RUMAH KOSONG

Di sebuah kelas di SMA Tulalit sedang dihebohkan dengan cerita hantu. Cecil adalah biang keroknya. Dia bercerita bahwa rumah kosong yang terletak di dalam gang di sebelah SMA Tulalit berhantu. “Eh, kalian tahu gak? Rumah kosong di dalam lorong di sebelah sekolah kita ini katanya berhantu lho”, ujar Cecil. Hal tersebut banyak membuat para siswa lain penasaran dan tertarik serta ketakutan. Namun, lain dengan Julie. Julie tidak takut dengan yang namanya hantu atau semacamnya. Mendengar hal tersebut, Cecil menantang Julie untuk memasuki rumah kosong itu.
Dan tanpa takut, Julie menerima tantangan tersebut. Siswa lain yang tertarik akan peristiwa ini, memutuskan untuk mengikuti Julie memasuki rumah kosong tersebut. Dan ternyata, cerita di sekolah tadi bohong. Itu hanya sebuah scenario untuk mengerjai Julie karena besok adalah ulang tahunnya. “Hahaha, tidak di sangka Julie mau masuk jebakan kita”, ujar Cecil teman sekelas Julie. Raisya teman sebangku Julie berkata,”Tentu saja, dia memang bisa terpancing dengan hal-hal seperti itu. Hahaha”. “Tinggal bersiap-siap saja untuk besok teman-teman”, ujar Robert sang ketua kelas.
Esoknya, saat malam Jum’at, sebelum Julie berangkat dari rumah menuju rumah kosong tersebut, teman-teman Julie sudah duluan pergi ke rumah itu dan mempersiapkan semuanya.Mereka mempersiapkan kejutan untuk Julie. Sementara itu, Julie sudah selesai bersiap dan dia mulai berangkat menuju rumah kosong itu. Tak terlihat sedikitpun ketakutan di wajah Julie. Saat Julie sudah dekat dengan rumah itu, teman-temannya pun bersiap. Julie berdiri di depan rumah tersebut dan mengamati rumah itu.
Terasa menyeramkan memang, tapi Julie tidak gentar. Dengan yakin, dia membuka pintu dan masuk ke dalam.Julie tiba di dalam rumah, rumahnya terlihat sangat sepi dan kotor. Banyak debu dan sarang laba-laba di sana. Tiba-tiba, terdengar suara pintu di tutup. Julie menoleh ke belakang dan ternyata pintu masuk tadi tertutup. Julie bergumam,”Hah, paling cuma angin”. Kemudian, Julie pun berjalan, memulai penelusuran rumah kosong tersebut. Banyak tikus dan kecoa juga di sana.
Ketika berjalan, Julie melihat ada sesuatu yang bergerak masuk ke dalam sebuah ruangan. Julie mengejarnya dan ternyata…, tidak ada apa-apa. “Mungkin hanya perasaan aku saja…”, gumam Julie lagi. Dan Julie pun keluar dari ruangan itu dan mulai berjalan kembali. Sesekali dia juga mengecek beberapa ruangan, saat sedang memasuki suatu ruangan, Julie mendengar suara perempuan sedang menangis. “Hiks hiks, hiks hiks”, suara seorang wanita.
Julie bergumam,”Ada yang menangis…, siapa ya? Liat ah…”. Julie pun mendengar baik-baik dan berjalan menuju sumber suara. Sumber suaranya terdengar dari sebuah ruangan di pojok rumah. Julie berjalan ke ruangan itu dan membuka pintu. Di balik pintu, dia lihat ada seorang anak perempuan sebayanya sedang duduk dengan kepala menunduk dan menangis. Julie mendekati anak itu dan tiba-tiba anak perempuan itu berlari menjauhi Julie. “Eh, tunggu…, kamu mau lari kemana? Aduh, tadi nangis, sekarang malah lari-lari…, beneran hantu apa nggak sih itu?”, omel Julie sebal.
Kemudian, Julie berjalan ke ruangan lain. Di ruangan yang dimasuki Julie kali ini, dindingnya banyak darah. Memerah, dan ada setetes cairan merah jatuh ke tangannya. Julie berkata,”Aduh, apaan nih?”. Julie mengendusnya dan mencicipinya,”Heee, ini mah sirup Marijane Cocopandan…, siapa sih yang buang-buang sirup di sini?” omel Julie lagi.
Ruangan selanjutnya yang dimasuki Julie, berisi banyak peti mati. Julie berkata,”Wah banyak peti, sayang nya peti mati, bukan peti harta karun…, gak asik”. Saat sedang melihat-lihat, tiba-tiba dari dalam sebuah peti mati, keluar seorang mumi. “Ekh? Ada mumi nya…”, ujar Julie kaget dan memukul kepala mumi itu, mumi itu tertidur lagi dan Julie menutup petinya. Julie bergumam,”Mumi udah mati kok bisa pingsan ya??”.
Julie pun berjalan keluar ruangan, dan dari ujung rumah, terlihat seorang anak laki-laki sebayanya memakai pakaian putih dan memegang pisau berlari kencang ke arah Julie. Anak laki-laki itu seperti ingin menusuk Julie. “Astagaaa…., hei itu pisau… hati, hatiiiiiii”, teriak Julie sambil berlari ketakutan. Julie segera masuk ke dalam sebuah ruangan dan bergumam,”Apa-apaan hantu tadi? Bawa-bawa pisau kayak udah mau ngebunuh aku aja…., bikin kaget…, kalau gak lari, mungkin udah mati deh aku…”.
“Ini rumah hantu tapi kok ada pembunuh sih???”, teriak Julie frustasi. Tiba-tiba, di ruangan yang gelap itu, di hidupkan lah lampu dan semua teman-teman Julie berteriak,”Selamat ulang tahun Julieeee”. Julie berkata,”Jadi kalian ngerjain aku ya???”. “Hahahaa, maaf ya Julie..”, ujar Raisya sambil tertawa. Julie lega, karena semuanya hanya kerjaan teman-temannya. Berarti pembunuh tadi juga hanya rekayasa, hal tersebut lah yang paling membuat Julie merasa tenang.
Robert berkata,”Ngomong-ngomong kamu imut banget sih waktu aku kejar tadi, hahahaa”. “Eh, jadi kamu toh yang ngejar aku pake pisau tadi? Dasar criminal…”, omel Julie. Semua pun tertawa, dan tiba-tiba ada suara tertawa,”Hihihihihihihiii”. Semuanya hening, beberapa menit kemudian, Julie berkata,”Udah deh teman-teman…, udah ketahuan masih aja…”. “Aaa, mungkin kau salah paham, Lie.., itu bukan kami…”, kata Raisya. Kemudian hening kembali, perlahan suasana mulai menakutkan, dan mereka semua berlarian keluar rumah kosong tersebut.
Dari kejauhan, terlihatlah sesosok perempuan berambut hitam, panjang tergerai dengan daster putihnya. Tidak disangka ternyata… di rumah kosong itu… ada hantu asli. “Hhihihihihihihihihihiii”.
TAMAT

Welcome

Hai, diriku Nisa Kurnia Sari, biasa dipanggil Nisa, Nis, Cha, Icha, Ting2, dsb.
Punya satu Mama dan satu Papa.
Agama diriku Islam.
Sekolah di SMA N 3 Jambi, masih kelas 2.

Selamat datang di blog saya... enjoy the post tehehehehe >.<