Jangan memungut kembali apa yang telah kau buang, karena apa yang telah
kau buang menjadi lebih baik dari padamu ketika kau pungut kembali.
Setelah
beberapa waktu berlalu, Juli tak lagi mendengar kabar Ghani yang telah hancur
karena ditolak mentah-mentah oleh April. Untuk sementara, kehidupan berjalan
santai dan damai bagi Juli. Namun, tak terlihat begitu bagi Ghani. Sepanjang
hari, wajahnya selalu murung entah apa yang telah terjadi kepada dirinya. Ghani
menjadi pendiam dan tak banyak bicara. Hal ini memang menarik perhatian Juli,
akan tetapi hal tersebut tak terlalu difikirkan Juli. Karena, sejauh yang Juli
lihat tidak ada masalah yang besar bagi Ghani. Dan sepertinya sikap Ghani itu
hanya akan berlaku dalam waktu yang singkat. Lagi pula, Ghani juga sudah bukan
siapa-siapanya Juli lagi.
Suatu hari,
saat Juli keluar kelas, Ghani mencegatnya di depan pintu. Juli bingung melihat
Ghani yang tidak biasanya mencegat Juli seperti itu. Dan yang anehnya lagi,
Juli melihat sepertinya ada hal serius yang ingin disampaikan oleh Ghani
kepadanya. Dengan senyum manisnya, Juli bertanya,”Ada apa, Ghani?”. “Bisakah kau ikut denganku
sebentar?”, tanya Ghani dengan perasaan tidak enak. Juli tetap tersenyum dan
menjawab,”Baiklah”. Juli pun mengikuti Ghani. Ghani berjalan dan terus berjalan
tanpa menoleh kepada Juli. Tiba-tiba, Ghani berkata dengan wajah
bersalahnya,”Juli…, maafkan atas perlakuan kasarku dahulu kepadamu…aku menyesal
telah melakukannya, sekali lagi…aku minta maaf…”.
“Tidak apa,
lagi pula aku telah melupakan kejadian itu. Jangan merasa bersalah begitu…, aku
tidak apa-apa”, balas Juli kembali dengan senyum. Juli berusaha untuk terus
tersenyum karena, wajah Ghani yang terlihat merasa sangat berdosa. Juli tak mau
ada orang yang merasa bersalah terhadapnya, Juli hanya ingin agar orang-orang
yang dia kenal merasa senang, itu saja. Juli memang seorang gadis yang sangat
baik, sayang sekali dulu Ghani menolak Juli mentah-mentah. Wajah Ghani bukannya
berubah senang, malah berubah menjadi semakin bersalah. Juli jadi merasa tidak
enak melihat wajah Ghani yang seperti itu setelah mendengar jawaban darinya.
Juli pun berkata,”Kenapa? Apa ada yang salah dengan perkataanku tadi?”.
“…, Tidak…,
bukan begitu…aku….hanya…merasa….sangat hina. Karena sikapku terdahulu kepadamu.
Padahal kau begitu baik…, kau sangat baik kepadaku…, maafkan aku sekali lagi….”,
balas Ghani sambil menunduk. Kali ini, Juli menjadi sebal,”Sudah kukatakan
tadi, tidak apa-apa. Kalau aku bilang begitu, berarti memang tidak apa-apa,
jangan kau fikirkan lagi”. Ghani hanya bisa mengangguk kecil. Dan pertemuan
tersebut berakhir langsung saat bell tanda akhir dari istirahat berbunyi. Tak
ada kecurigaan khusus dari Juli kepada Ghani, akan tetapi…yang jadi masalahnya
adalah sikap Ghani yang malah menjadi semakin parah. Dia menjadi murung dan
terlihat merasa sangat bersalah sekali. Padahal, Juli sama sekali tak
mempermasalahkan masa lalu meski masa lalu tersebut sangat pahit.
Juli adalah
orang yang tak mau memandang masa lalu karena, hal tersebut sama sekali tak
baik untuk dilakukan. Yang baik dilakukan adalah melupakan masa lalu dan
menatap ke depan. Beberapa hari berlalu dan Ghani selalu mengajak Juli
jalan-jalan bersama berkeliling sekolah sambil bercerita banyak hal. Setiap
bertemu Juli, sepertinya Ghani mulai mengerti dan perlahan wajahnya mulai ceria
kembali. Juli menjadi senang melihatnya. Namun, luka saat Ghani di putusin sama
April terlihat masih tersisa. Ghani terlihat masih sangat menderita meski tak
menderita amat. Suatu hari, saat Ghani dan Juli berjalan, Juli berkata,”Aku
tahu masalahmu dengan April seperti apa. Tapi, kau tak bisa terus-terusan
meratapi nasibmu yang malang
karena April. Jangan menanggung beban itu sendirian. Karena, tak ada manusia
yang bisa menahan beban berat sendirian, bagi saja bebanmu dengan orang lain.
Kau hanya perlu menahan beban tersebut sedikit demi sedikit dan bangkit
kembali”.
“Tapi, pada
siapa aku harus membaginya?”, tanya Ghani dengan bingung. Sambil tersenyum Juli
menjawab,”Bagi saja kepadaku, tak masalah kan?”. “Membagi bebanku kepadamu? Tidak, kau
sudah terlalu baik kepadaku. Aku tak mau merepotkanmu”, ujar Ghani lagi dan
wajah bersalahnya pun mulai muncul. Dengan wajah agak sebal Juli berkata,”Kau
ini, tak apa! Kan
sudah kubilang, jangan memandang kebelakang lagi, lagi pula aku sudah
melupakannya! Hah…, lagi pula aku tak keberatan bila harus membagi beban
denganmu. Kita kan teman, ya kan?”. “…ya”, ujar Ghani sambil mulai
tersenyum. Terus menerus berlangsung seperti itu. Perlahan dan pasti, Ghani
mulai bisa terseyum kembali. Suatu hari, secara tiba-tiba, Ghani menembak Juli.
“Jul…”, ujar Ghani dengan wajah agak memerah.
Juli tersenyum
dan bertanya,”Ya?”. ”Aku…..”, ujar Ghani dengan rasa menahan wajah merahnya
yang sangat kelihatan. Juli malah melebarkan senyumnya dan kembali bertanya,”Ada apa, Ghani?”. “Um…,
a…., um…., maukah kamu…..jadi…..”, ucapnya terbata-bata. Juli malah memaniskan
senyumnya dan bertanya lagi,”Jadi temanmu? Kan sudah…”. “Bukan! Bukan itu….”, bantah
Ghani dengan wajah merahnya. Juli malah menambahkan ekspresi manis wajahnya
sebagai background senyumnya yang manis dan kembali bertanya,”Jadi? Jadi apa?”.
“Jadi….pa….carku?”, ujar Ghani dengan wajah merah padamnya. Juli tetap
tersenyum dan langsung menjawab,”Boleh!”. Ghani terlihat senang, tepatnya
pura-pura senang. Juli dapat membacanya, Ghani yang masih hancur karena April
tak mungkin dapat dengan mudah melupakan April.
Juli tahu
kalau niat sebenarnya Ghani adalah balas dendam kepada April. Dengan memacari
Juli, tentunya Ghani dapat memanas-manasi April. Apa kalian tahu apa alasan
Juli menerima tawaran Ghani? Juli menerima Ghani karena Juli ingin Ghani merasa
senang. Biarlah Ghani membalas dendamnya meski jalan itu salah, asalkan Ghani
bisa senang. Juli memang anak yang baik. Pastinya pandangan kalian terhadap
Juli ini adalah kalau Juli menyukai Ghani bukan? Haha! Kalian salah besar! Juli
tak menyukai Ghani sama sekali, perasaan Juli terhadap Ghani itu hanyalah
perasaan kasihan melihat Ghani yang hancur. Dan perasaan suka Juli itu
sepertinya sukar untuk dimunculkan kembali karena sebenarnya yang sangat
menderita itu adalah dirinya sendiri.
Karena luka
terdahulu, perasaan suka tak pernah muncul kembali di dalam hati Juli. Luka
terdahulu menutup namun, masih menyisakan trauma yang mendalam bagi diri Juli.
Kasihan sekali anak itu! Esoknya, Ghani mulai beraksi, pagi-pagi sekali,
dihadapan April…Ghani menyapa Juli dengan wajah riangnya yang palsu. Walau
palsu, Juli tetap memancarkan senyumannya kepada Ghani. Untuk kali pertama ini,
April sepertinya tak terlihat merasa marah atau jealous. Dan Ghani terlihat
sebal memegang lengan seragam Juli dan menarik Juli perlahan. Saat istirahat,
Ghani sengaja memanggil Juli dan mengajak Juli ke kantin berdua di depan April
juga. Di kantin, Ghani membelikan Juli makanan di depan April juga. Ghani
melirik-lirik ke arah April untuk memastikan kalau-kalau April cemburu.
Kelihatannya begitu, April terlihat sedikit panas. Di dalam hati, Ghani merasa
senang. Dia merasa telah berhasil satu langkah meski wajahnya terlihat
biasa-biasa saja. Namun, Juli yang melihat mata Ghani tau kalau Ghani sedang
senang sekali.
Begitulah, dan
hal ini berlanjut hingga berlarut-larut. Berhari-hari Ghani memanas-manasi
April tanpa bosan-bosannya. Untung Juli adalah seorang gadis yang baik yang
dapat memaklumi hal bodoh yang dilakukan oleh Ghani. Hingga akhirnya suatu
hari, April diputusi oleh cowo’ nya yang dulu. Cara putusnya tak jauh beda
dengan saat Ghani mencaci maki April. Saat peristiwa putusnya April dengan
pacarnya itu, Ghani menyeret Juli untuk menguping. Namun, Ghani membuatnya
seolah-olah dia mengajak Juli untuk jalan-jalan. Juli tau akan hal tersebut,
tapi Juli nurut saja dengan apa yang dikatakan oleh Ghani. Saat itu, terlihat
di mata Ghani kalau dia merasa sangat senang atas putusnya April dengan cowo’
nya. Namun, di sisi lain, Ghani kembali teringat masa lalu. Masa di mana dia
menolak Juli mentah-mentah.
Berhari-hari
kemudian, Ghani tetap memanas-manasi April hingga pada suatu hari, April minta
Ghani menjadi pacarnya kembali. Mereka bertemu hanya berdua dengan Juli sebagai
pengupingnya. Padahal Juli gak sengaja lewat, eh…, malah kedengeran pembicaraan
April dan Ghani. Saat itu, Ghani terlihat merasa sangat bersalah dan kali ini,
secara tegas, dia menolak mentah-mentah tawaran April agar April tau apa
rasanya dibuang begitu saja. Esoknya, saat istirahat, ketika Ghani sedang
berdua dengan Juli, wajah Ghani terlihat merasa bersalah. Dengan penuh
perhatian Juli bertanya,”Ada
apa, Ni?”. “Juli…, tolong…, putusin aku. Aku…, tak pantas menjadi pacarmu”,
pinta Ghani. Juli pura-pura tidak tahu dan bertanya,”Kenapa?”. “Aku…, hanya
memacarimu untuk memanas-manasi April saja. Maafkan aku”, ujar Ghani lagi
dengan perasaan bersalah 2 kali lipat dari sebelumnya.
Juli tersenyum
dan berkata,”Aku sudah tahu soal itu”. “Apa? Dan kau tetap menerima tawaranku
yang tidak serius itu?”, tanya Ghani yang terkejut mendengar jawaban dari Juli
tadi. Juli tetap tersenyum dan berkata,”Ya, karena aku ingin melihat Ghani puas
dan merasa bahagia”. “Kau…..kau ini….., kau ini terlalu baik. Biarkanlah aku
pergi dari hidupmu sekarang. Karena aku hanya akan menjadi benalu saja. Tolong
biarkan aku pergi….”, ujar Ghani dengan rasa bersalah 4 kali lipat lebih banyak
dari pada sebelumnya. Juli tetap tersenyum dan berkata,”Tak ada yang perlu kau
sesali. Karena, ini semua adalah mauku. Kaliu kau memang mau pergi aku tak
melarang, karena itu adalah hak mu. Tapi, ingatlah! Kalau kau butuh bantuan,
kau bisa menghubungi aku”. Kemudian, mereka berdua serentak berdiri dan saling
bertatapan.
“Selamat
tinggal, Juli”, ujar Ghani. Juli tersenyum dan menjawab,”Bukan selamat tinggal,
tapi…sampai ketemu lagi”. “Ya, sampai ketemu lagi…”, ujar Ghani. Juli
menjawab,”Sampai ketemu lagi!”.
THE END
>
Jena. Ha? Apa keadaannya memungkinkan untuk
belajar? Sepertinya Tania memaksakan dirinya sendiri untuk hadir dan belajar di
sekolah.
Wajahnya makin
hari menjadi makin pucat. Akan tetapi, dia tetap bisa tersenyum dengan
manisnya. Saat istirahat, dengan manisnya, Jena menyuapi Tania di taman belakang
sekolah. Sepertinya penyakit Tania malah semakin mempererat persahabatan mereka
berdua. Ternyata, pemandangan ini juga tak kalah indahnya dengan saat Tania
masih sehat. Aku mengamati mereka berdua dari jauh, pamandangannya sungguh
menentramkan hati. Akan tetapi, tetap saja aku selalu kepikiran dengan hal
terburuk yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut kalau Tania….., ah! Tidak!
Aku ini mikir apa sih? Aku tak boleh berfikiran buruk! Aku harus memikirkan
hal-hal yang baik untuk mereka berdua!
Saat pulang, Jena tetap saja mengiringi
Tania. Akan tetapi, kuamati mereka berdua dari belakang, tiba-tiba…ada darah
lagi keluar dari hidung Tania. Jena
panic dan berusaha menghapus darah itu. Dan tiba-tiba lagi, Tania pingsan!
Tapi, saat aku akan mendekat dan menolong mereka, dengan gigihnya Jena berusaha membawa
Tania dan dia membuat langkahku terhenti. Wah! Begitu manisnya persahabatan
mereka! Sampai-sampai Jena
rela menolong Tania sendirian. Jena
membawa Tania ke rumah Tania. Akupun juga menyusul. Sampai di rumah Tania, Ibu
Tania menelepon Dokter. Tak beberapa lama kemudian, Dokterpun datang dan
memeriksa Tania.
Setelah Dokter
memeriksa, beliau berkata kepada Ibu Tania kalau untuk sementara ini Tania
harus dibawa ke rumah sakit dulu. Maka dibawalah Tania ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Jena tak pernah melepaskan
tangan Tania, Jena
terus saja menggenggam tangan Tania dengan erat. Sesampainya Tania di rumah
sakit, dia dirawat sebentar oleh Dokter kemudian Tania dibiarkan istirahat.
Selama istirahat, Tania belum juga sadarkan diri dan Jena selalu setia menunggu di samping Tania.
Dari luar aku terus mengamati mereka, Tania belum juga kunjung sadar. Saking
lamanya, Jena
tertidur di samping Tania. Sementara kedua orang tua Tania menungguinya di
luar. Ibunya terus-terusan menangis di pelukan ayahnya.
Tak lama
kemudian, Tania sadar serentak dengan bangunnya Jena. Dari luar aku mendengar pembicaraan
mereka berdua. “Tania…, sudah sadar?”, tanya Jena dengan senyum lebarnya. Dengan senyuman
rapuh di wajahnya yang pucat Tania menjawab,”Ya…, aku…di rumah sakit, ya?
Kamu…, sampai ketiduran gara-gara menunggui aku ya?”. “Ah, tidak! Aku tak
apa-apa! Bagaimana dengan kamu? Apa kau tidak apa-apa? Tadi kamu sempat pingsan
setelah keluar darah dari hidungmu”, ujar Jena.
Tania menjawab,”Ya, aku…tidak apa-apa. Jangan khawatir”. Setelah itu Tania pun
tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus
menunggui Tania di sana.
Malampun menjelang, aku dan Jena
pamit pulang.
Tapi,
kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk
meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena
dipaksa Tania untuk pulang dan Jena
pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena
berbincang-bincang,”Jena…,
kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat
mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti
senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu.
Jarang-jarang ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku
kecil. Jena berkata,”Tentu saja aku sangat
menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku Setelah itu Tania
pun tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus
menunggui Tania di sana.
Malampun menjelang, aku dan Jena
pamit pulang.
Tapi,
kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk
meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena
dipaksa Tania untuk pulang dan Jena
pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena
berbincang-bincang,”Jena…,
kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat
mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti
senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu. Jarang-jarang
ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku kecil. Jena berkata,”Tentu saja
aku sangat menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku sendiri”.
Aku tersenyum
dan kami pun pulang bersama. Esoknya, saat pulang, Jena langsung terburu-buru pergi menuju rumah
sakit. Seperti biasa juga, aku mengikutinya dari belakang. Tapi, di jalan aku
sempat membeli buah-buahan untuk Tania. Kan
tidak enak kalau kita menjenguk tidak membawa apapun. Saat sampai di depan
rumah sakit, kutarik Jena.
“Eh? Yena?”, ujarnya dengan bingung. Aku tersenyum dan berkata sambil
menyerahkan buah-buahan tersebut,”Hai, kalau mau menjenguk, bawa ini!”. “Terima
kasih banyak!”, ujarnya sambil menerima dan kembali berlari menuju ke dalam
rumah sakit. Sesampainya di kamar Tania, mereka berdua langsung mengobrol.
Senyum ceria terlihat jelas dari wajah mereka berdua. Hah…, mereka ini!
Beberapa hari
kemudian, Tania pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Akan tetapi, kondisi
tubuhnya menjadi makin lemah saja. Terkadang sedih juga melihatnya. Sekarang,
dia hanya dapat duduk di kursi roda saja. Kakinya lemas dan tak bisa bergerak.
Menyedihkan sekali! Efeknya mulai terlihat. Tak banyak yang bisa dilakukan
seseorang di atas kursi roda. Tapi, dengan senang hati Jena
mengantar Tania jalan-jalan ke sana
ke mari. Tak ada satupun kesedihan di wajah mereka berdua. Aduh!!! Mereka ini
tegar sekali! Aku jadi iri melihatnya! Suatu hari, saat Jena dan Tania sedang berjalan-jalan di
taman, hujan turun. Dengan cepat Jena
langsung memutar kursi rodanya dan mencari tempat yang teduh.
Setelah itu,
mereka berteduh dan menikmati hujan bersama. Hah…! Sungguh pemandangan yang
indah!!! Hari demi hari berlalu dan terus berlalu. Waktu bersama mereka berdua
menjadi semakin singkat bersamaan dengan umur Tania. Memikirkan hal itu saja
sudah membuatku sedih tak tertahankan. Entah bagaimana jadinya kalau hari itu
datang. Akan tetapi yang terpenting sekarang bukanlah masa depan melainkan masa
sekarang. Aku berharap akan ada suatu keajaiban luar biasa yang akan dialami
kedua sahabat ini. Semoga saja! Saat ini, tubuh Tania semakin melemah, dia
lebih sering mimisan dari pada biasanya dan rambutnya mulai rontok karena
terapi yang disarankan oleh dokter.
Pada awalnya,
Tania agak minder, tapi…karena disemangati oleh Jena terus-terusan, akhirnya Tania bisa
menerimanya dan tak mempermasalahkannya lagi. Suatu hari, Jena mengajak Tania untuk shopping di Mall
bersama. Wah! Di Mall, terlihat mereka berdua mengomentari barang yang dipilih
satu sama lain. Mereka tertawa-tawa seolah-olah Tania itu tak sakit. Setelah
lelah berbelanja, mereka istirahat sejenak di sebuah Café. Di sana, mereka heboh mencemongi muka satu sama
lain. Hahaha! Lucu! Mereka sampai di tegur oleh manager Café. Saat mereka
membersihkan wajah masing-masing, mereka malah main air. Walah! Dan…,
ngomong-ngomong kenapa tiap aku ingin mengintai mereka, selalu saja diberi
kesempatan? Haha! Beruntunglah aku! Tiba-tiba, Tania kembali mimisan dan lemes.
Dengan segera, Jena
langsung membawanya pergi ke rumah sakit dibantu aku.
Di rumah
sakit, kata Dokter, Tania hanya kecapean saja dan harus beristirahat selama
beberapa hari. Dengan penuh rasa penyesalan, Jena berkata,”Maaf Tania, gara-gara aku yang
mengajakmu jalan ke Mall, kamu jadi begini”. “Tidak perlu minta maaf, justru
aku berterima kasih kepadamu Jena,
yang tadi itu sangat menyenangkan sekali!”, bantah Tania dengan senyum
manisnya. Wajah Jena mulai berseri dan dia kembali bertanya,”Benarkah?”. “Ya,
tentu saja!”, balas Tania lagi dengan senyumnya. Jena berkata lagi,”Syukurlah”. Oh ya, sudah 5
bulan berlalu sejak vonis Dokter itu. Berarti, waktu yang tersisa sangat
singkat. Hah…! Mengapa waktu itu sangat cepat berlalunya? Hah! Sebal aku
dibuatnya!
Karena esok
adalah hari libur, Jena
ingin menemani Tania di rumah sakit. Tapi…, kenapa feelingku tidak enak begini?
Perasaan yang aneh dan enggan hilang! Semoga tak akan terjadi hal-hal yang tak
diinginkan. Malamnya, kulihat dari luar, Tania dan Jena terlelap bersama. Tidur mereka terlihat
sangat pulas sekali. Esoknya…, saat aku membuka mata, aku langsung melihat
Tania dan Jena.
Mereka berdua masih tertidur pulas. Karena itu, kuputuskan untuk pergi ke
toilet sebentar, akan tetapi, aku tersadar akan sesuatu dan langsung masuk ke
kamar Tania. Kuperhatikan wajah mereka berdua dan……ternyata benar! Wajah mereka
berdua benar-benar pucat! Kutekan bell untuk memanggil Dokter dan suster lalu
kusentuh wajah mereka berdua. Dingin….dingin bagaikan es……..kenapa? kenapa ini
bisa terjadi?
Dokterpun
datang dan mulai memeriksa mereka berdua. Aku terdiam dan bersandar ke dinding.
Kuharap Dokter tak mengatakan apa yang ada difikiranku saat ini. Setelah Dokter
memeriksa dan ternyata……………benar dugaanku! Tania……dan Jena……..mereka berdua meninggal pada saat
yang bersamaan. Air mataku tertumpah! Kalian tahu apa yang aku rasakan? Aku
merasa sangat lega. Karena, tak ada diantara mereka yang perlu menderita karena
harus sendirian. Mereka meninggal bersama dan akan selalu terus bersama. Ini
benar-benar mengagumkan…, takdir yang indah. Mereka dibiarkan untuk tetap
bersama bahkan sampai akhir hayat mereka berdua. Ternyata sampai segitunya
persahabatan mereka! Indah sekali!
The End