Jangan terus-terusan menatap masa lalu, tataplah masa depan.
Di ruangan
sepi dan sunyi…, aku duduk di atas sebuah kursi kecil dengan meja di depannya.
Dia atas meja tersebut telah tersedia berbagai macam kue beserta teh sebagai
teman makannya. Mataku tertuju kepada pemandangan di luar, warna langitnya
seperti terbakar, banyak serangga yang masih bermain ria di taman depan rumah
yang bunga-bunganya bermekaran, angin yang sepoi-sepoi, dan hal menyenangkan
lainnya. Akan tetapi…, perasaanku rasanya tak karuan saat ini. Mataku memandang
kosong ke arah luar, hatiku sedih ketika melihat pemandangan ini. Karena, aku
teringat akan….Ibu. Ibu…, bagaikan sore yang selalu menyejukkan dan
menentramkan hatiku. Aku sangat menyayangi Ibu, begitu juga sebaliknya dengan
Ibu.
Dulu, aku
selalu memandangi sore bersama Ibu. Kini, aku memandanginya sendirian.
Rasanya…., tak sama, rasanya…berbeda…, karena Ibu sudah tak ada bersamaku lagi.
Ibu sudah pergi…., pergi jauh dari dunia ini…., dan mengawasiku dari atas sana . Memang kematian
pasti akan menimpa setiap orang, dan kita tak dapat membantahnya. Akan tetapi,
entah kenapa…, hatiku tak bisa menerima kematian Ibu. Semenjak hari itu, hatiku
menjadi tak karuan. Seakan-akan aku ingin berteriak,”INI TIDAK ADIL!!!”. Akan
tetapi, meski aku berteriak sampai suaraku tak dapat keluar pun Ibu tak akan
kembali. Aku sadar kalau aku salah karena tak bisa menerima kepergian Ibu, akan
tetapi…, aku membutuhkan suatu perkataan yang dapat meyakinkanku kembali.
Selama ini,
yang bisa meyakinkanku hanyalah Ibu…, dan sekarang…, beliau telah pergi.
Siapakah yang akan memberikan perkataan itu? Seseorang…, tolong aku!!! Bantu
aku!!! Meski aku berharap begitupun, tak ada orang yang dating menolongku.
Semakin lama…aku semakin termakan perasaan tak karuan ini. Aku merasa kalau aku
ini hanya sendirian. Tiba-tiba, ada yang memelukku dari belakang dan
berkata,”Kenapa tidak dimakan kue-nya?”, yang ternyata yang memeluk adalah
Kakakku. “Tidak lapar…”, balasku kecil. Kakak berkata dengan lembut,”Jangan
berbohong kepadaku! Aku tahu kalau kau sedang memikirkan Ibu. Sudahlah! Kau
ini, memang selama ini aku hanya diam. Akan tetapi, tak kusangka kalau adikku
akan jadi seperti ini”.
Aku tersadar,
ternyata Kakak peduli kepadaku. “Apa alasanmu diam terus? Kenapa kau tidak
menyemangatiku?”, tanyaku kepadanya. Kakak menjawab,”Karna aku percaya kalau
adikku itu adalah seorang adik yang kuat. Dan tak akan goyah hanya karena
kematian Ibu semata”. “Tapi, ini kan
kematian Ibu!”, protesku lagi dengan nada tinggi. Dengan agak marah juga, Kakak
menjawab,”Tapi tak perlu menjadi sehancur kamu, kan ? Lagi pula kamu fikir Ibu akan senang
jika melihatmu begini?”. Aku tersadar dan merasa bersalah. Mengapa tak kusadari
sebelumnya? Aku ini…terlalu egois! Maafkan aku…Ibu! Kini aku tak akan membuat
Ibu khawatir lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, aku memeluk Kakakku dengan erat.
The End
Oleh: Nisa Kurnia Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar