Minggu, 05 Februari 2012

Cerpen Tanpa Judul 1


Jangan terus-terusan menatap masa lalu, tataplah masa depan.

Di ruangan sepi dan sunyi…, aku duduk di atas sebuah kursi kecil dengan meja di depannya. Dia atas meja tersebut telah tersedia berbagai macam kue beserta teh sebagai teman makannya. Mataku tertuju kepada pemandangan di luar, warna langitnya seperti terbakar, banyak serangga yang masih bermain ria di taman depan rumah yang bunga-bunganya bermekaran, angin yang sepoi-sepoi, dan hal menyenangkan lainnya. Akan tetapi…, perasaanku rasanya tak karuan saat ini. Mataku memandang kosong ke arah luar, hatiku sedih ketika melihat pemandangan ini. Karena, aku teringat akan….Ibu. Ibu…, bagaikan sore yang selalu menyejukkan dan menentramkan hatiku. Aku sangat menyayangi Ibu, begitu juga sebaliknya dengan Ibu.
Dulu, aku selalu memandangi sore bersama Ibu. Kini, aku memandanginya sendirian. Rasanya…., tak sama, rasanya…berbeda…, karena Ibu sudah tak ada bersamaku lagi. Ibu sudah pergi…., pergi jauh dari dunia ini…., dan mengawasiku dari atas sana. Memang kematian pasti akan menimpa setiap orang, dan kita tak dapat membantahnya. Akan tetapi, entah kenapa…, hatiku tak bisa menerima kematian Ibu. Semenjak hari itu, hatiku menjadi tak karuan. Seakan-akan aku ingin berteriak,”INI TIDAK ADIL!!!”. Akan tetapi, meski aku berteriak sampai suaraku tak dapat keluar pun Ibu tak akan kembali. Aku sadar kalau aku salah karena tak bisa menerima kepergian Ibu, akan tetapi…, aku membutuhkan suatu perkataan yang dapat meyakinkanku kembali.
Selama ini, yang bisa meyakinkanku hanyalah Ibu…, dan sekarang…, beliau telah pergi. Siapakah yang akan memberikan perkataan itu? Seseorang…, tolong aku!!! Bantu aku!!! Meski aku berharap begitupun, tak ada orang yang dating menolongku. Semakin lama…aku semakin termakan perasaan tak karuan ini. Aku merasa kalau aku ini hanya sendirian. Tiba-tiba, ada yang memelukku dari belakang dan berkata,”Kenapa tidak dimakan kue-nya?”, yang ternyata yang memeluk adalah Kakakku. “Tidak lapar…”, balasku kecil. Kakak berkata dengan lembut,”Jangan berbohong kepadaku! Aku tahu kalau kau sedang memikirkan Ibu. Sudahlah! Kau ini, memang selama ini aku hanya diam. Akan tetapi, tak kusangka kalau adikku akan jadi seperti ini”.
Aku tersadar, ternyata Kakak peduli kepadaku. “Apa alasanmu diam terus? Kenapa kau tidak menyemangatiku?”, tanyaku kepadanya. Kakak menjawab,”Karna aku percaya kalau adikku itu adalah seorang adik yang kuat. Dan tak akan goyah hanya karena kematian Ibu semata”. “Tapi, ini kan kematian Ibu!”, protesku lagi dengan nada tinggi. Dengan agak marah juga, Kakak menjawab,”Tapi tak perlu menjadi sehancur kamu, kan? Lagi pula kamu fikir Ibu akan senang jika melihatmu begini?”. Aku tersadar dan merasa bersalah. Mengapa tak kusadari sebelumnya? Aku ini…terlalu egois! Maafkan aku…Ibu! Kini aku tak akan membuat Ibu khawatir lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, aku memeluk Kakakku dengan erat.

The End

Oleh: Nisa Kurnia Sari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar