Jumat, 10 Februari 2012

Cerpen Tanpa Judul


Jangan memungut kembali apa yang telah kau buang, karena apa yang telah kau buang menjadi lebih baik dari padamu ketika kau pungut kembali.

Setelah beberapa waktu berlalu, Juli tak lagi mendengar kabar Ghani yang telah hancur karena ditolak mentah-mentah oleh April. Untuk sementara, kehidupan berjalan santai dan damai bagi Juli. Namun, tak terlihat begitu bagi Ghani. Sepanjang hari, wajahnya selalu murung entah apa yang telah terjadi kepada dirinya. Ghani menjadi pendiam dan tak banyak bicara. Hal ini memang menarik perhatian Juli, akan tetapi hal tersebut tak terlalu difikirkan Juli. Karena, sejauh yang Juli lihat tidak ada masalah yang besar bagi Ghani. Dan sepertinya sikap Ghani itu hanya akan berlaku dalam waktu yang singkat. Lagi pula, Ghani juga sudah bukan siapa-siapanya Juli lagi.
Suatu hari, saat Juli keluar kelas, Ghani mencegatnya di depan pintu. Juli bingung melihat Ghani yang tidak biasanya mencegat Juli seperti itu. Dan yang anehnya lagi, Juli melihat sepertinya ada hal serius yang ingin disampaikan oleh Ghani kepadanya. Dengan senyum manisnya, Juli bertanya,”Ada apa, Ghani?”. “Bisakah kau ikut denganku sebentar?”, tanya Ghani dengan perasaan tidak enak. Juli tetap tersenyum dan menjawab,”Baiklah”. Juli pun mengikuti Ghani. Ghani berjalan dan terus berjalan tanpa menoleh kepada Juli. Tiba-tiba, Ghani berkata dengan wajah bersalahnya,”Juli…, maafkan atas perlakuan kasarku dahulu kepadamu…aku menyesal telah melakukannya, sekali lagi…aku minta maaf…”.
“Tidak apa, lagi pula aku telah melupakan kejadian itu. Jangan merasa bersalah begitu…, aku tidak apa-apa”, balas Juli kembali dengan senyum. Juli berusaha untuk terus tersenyum karena, wajah Ghani yang terlihat merasa sangat berdosa. Juli tak mau ada orang yang merasa bersalah terhadapnya, Juli hanya ingin agar orang-orang yang dia kenal merasa senang, itu saja. Juli memang seorang gadis yang sangat baik, sayang sekali dulu Ghani menolak Juli mentah-mentah. Wajah Ghani bukannya berubah senang, malah berubah menjadi semakin bersalah. Juli jadi merasa tidak enak melihat wajah Ghani yang seperti itu setelah mendengar jawaban darinya. Juli pun berkata,”Kenapa? Apa ada yang salah dengan perkataanku tadi?”.
“…, Tidak…, bukan begitu…aku….hanya…merasa….sangat hina. Karena sikapku terdahulu kepadamu. Padahal kau begitu baik…, kau sangat baik kepadaku…, maafkan aku sekali lagi….”, balas Ghani sambil menunduk. Kali ini, Juli menjadi sebal,”Sudah kukatakan tadi, tidak apa-apa. Kalau aku bilang begitu, berarti memang tidak apa-apa, jangan kau fikirkan lagi”. Ghani hanya bisa mengangguk kecil. Dan pertemuan tersebut berakhir langsung saat bell tanda akhir dari istirahat berbunyi. Tak ada kecurigaan khusus dari Juli kepada Ghani, akan tetapi…yang jadi masalahnya adalah sikap Ghani yang malah menjadi semakin parah. Dia menjadi murung dan terlihat merasa sangat bersalah sekali. Padahal, Juli sama sekali tak mempermasalahkan masa lalu meski masa lalu tersebut sangat pahit.
Juli adalah orang yang tak mau memandang masa lalu karena, hal tersebut sama sekali tak baik untuk dilakukan. Yang baik dilakukan adalah melupakan masa lalu dan menatap ke depan. Beberapa hari berlalu dan Ghani selalu mengajak Juli jalan-jalan bersama berkeliling sekolah sambil bercerita banyak hal. Setiap bertemu Juli, sepertinya Ghani mulai mengerti dan perlahan wajahnya mulai ceria kembali. Juli menjadi senang melihatnya. Namun, luka saat Ghani di putusin sama April terlihat masih tersisa. Ghani terlihat masih sangat menderita meski tak menderita amat. Suatu hari, saat Ghani dan Juli berjalan, Juli berkata,”Aku tahu masalahmu dengan April seperti apa. Tapi, kau tak bisa terus-terusan meratapi nasibmu yang malang karena April. Jangan menanggung beban itu sendirian. Karena, tak ada manusia yang bisa menahan beban berat sendirian, bagi saja bebanmu dengan orang lain. Kau hanya perlu menahan beban tersebut sedikit demi sedikit dan bangkit kembali”.
“Tapi, pada siapa aku harus membaginya?”, tanya Ghani dengan bingung. Sambil tersenyum Juli menjawab,”Bagi saja kepadaku, tak masalah kan?”. “Membagi bebanku kepadamu? Tidak, kau sudah terlalu baik kepadaku. Aku tak mau merepotkanmu”, ujar Ghani lagi dan wajah bersalahnya pun mulai muncul. Dengan wajah agak sebal Juli berkata,”Kau ini, tak apa! Kan sudah kubilang, jangan memandang kebelakang lagi, lagi pula aku sudah melupakannya! Hah…, lagi pula aku tak keberatan bila harus membagi beban denganmu. Kita kan teman, ya kan?”. “…ya”, ujar Ghani sambil mulai tersenyum. Terus menerus berlangsung seperti itu. Perlahan dan pasti, Ghani mulai bisa terseyum kembali. Suatu hari, secara tiba-tiba, Ghani menembak Juli. “Jul…”, ujar Ghani dengan wajah agak memerah.
Juli tersenyum dan bertanya,”Ya?”. ”Aku…..”, ujar Ghani dengan rasa menahan wajah merahnya yang sangat kelihatan. Juli malah melebarkan senyumnya dan kembali bertanya,”Ada apa, Ghani?”. “Um…, a…., um…., maukah kamu…..jadi…..”, ucapnya terbata-bata. Juli malah memaniskan senyumnya dan bertanya lagi,”Jadi temanmu? Kan sudah…”. “Bukan! Bukan itu….”, bantah Ghani dengan wajah merahnya. Juli malah menambahkan ekspresi manis wajahnya sebagai background senyumnya yang manis dan kembali bertanya,”Jadi? Jadi apa?”. “Jadi….pa….carku?”, ujar Ghani dengan wajah merah padamnya. Juli tetap tersenyum dan langsung menjawab,”Boleh!”. Ghani terlihat senang, tepatnya pura-pura senang. Juli dapat membacanya, Ghani yang masih hancur karena April tak mungkin dapat dengan mudah melupakan April.
Juli tahu kalau niat sebenarnya Ghani adalah balas dendam kepada April. Dengan memacari Juli, tentunya Ghani dapat memanas-manasi April. Apa kalian tahu apa alasan Juli menerima tawaran Ghani? Juli menerima Ghani karena Juli ingin Ghani merasa senang. Biarlah Ghani membalas dendamnya meski jalan itu salah, asalkan Ghani bisa senang. Juli memang anak yang baik. Pastinya pandangan kalian terhadap Juli ini adalah kalau Juli menyukai Ghani bukan? Haha! Kalian salah besar! Juli tak menyukai Ghani sama sekali, perasaan Juli terhadap Ghani itu hanyalah perasaan kasihan melihat Ghani yang hancur. Dan perasaan suka Juli itu sepertinya sukar untuk dimunculkan kembali karena sebenarnya yang sangat menderita itu adalah dirinya sendiri.
Karena luka terdahulu, perasaan suka tak pernah muncul kembali di dalam hati Juli. Luka terdahulu menutup namun, masih menyisakan trauma yang mendalam bagi diri Juli. Kasihan sekali anak itu! Esoknya, Ghani mulai beraksi, pagi-pagi sekali, dihadapan April…Ghani menyapa Juli dengan wajah riangnya yang palsu. Walau palsu, Juli tetap memancarkan senyumannya kepada Ghani. Untuk kali pertama ini, April sepertinya tak terlihat merasa marah atau jealous. Dan Ghani terlihat sebal memegang lengan seragam Juli dan menarik Juli perlahan. Saat istirahat, Ghani sengaja memanggil Juli dan mengajak Juli ke kantin berdua di depan April juga. Di kantin, Ghani membelikan Juli makanan di depan April juga. Ghani melirik-lirik ke arah April untuk memastikan kalau-kalau April cemburu. Kelihatannya begitu, April terlihat sedikit panas. Di dalam hati, Ghani merasa senang. Dia merasa telah berhasil satu langkah meski wajahnya terlihat biasa-biasa saja. Namun, Juli yang melihat mata Ghani tau kalau Ghani sedang senang sekali.
Begitulah, dan hal ini berlanjut hingga berlarut-larut. Berhari-hari Ghani memanas-manasi April tanpa bosan-bosannya. Untung Juli adalah seorang gadis yang baik yang dapat memaklumi hal bodoh yang dilakukan oleh Ghani. Hingga akhirnya suatu hari, April diputusi oleh cowo’ nya yang dulu. Cara putusnya tak jauh beda dengan saat Ghani mencaci maki April. Saat peristiwa putusnya April dengan pacarnya itu, Ghani menyeret Juli untuk menguping. Namun, Ghani membuatnya seolah-olah dia mengajak Juli untuk jalan-jalan. Juli tau akan hal tersebut, tapi Juli nurut saja dengan apa yang dikatakan oleh Ghani. Saat itu, terlihat di mata Ghani kalau dia merasa sangat senang atas putusnya April dengan cowo’ nya. Namun, di sisi lain, Ghani kembali teringat masa lalu. Masa di mana dia menolak Juli mentah-mentah.
Berhari-hari kemudian, Ghani tetap memanas-manasi April hingga pada suatu hari, April minta Ghani menjadi pacarnya kembali. Mereka bertemu hanya berdua dengan Juli sebagai pengupingnya. Padahal Juli gak sengaja lewat, eh…, malah kedengeran pembicaraan April dan Ghani. Saat itu, Ghani terlihat merasa sangat bersalah dan kali ini, secara tegas, dia menolak mentah-mentah tawaran April agar April tau apa rasanya dibuang begitu saja. Esoknya, saat istirahat, ketika Ghani sedang berdua dengan Juli, wajah Ghani terlihat merasa bersalah. Dengan penuh perhatian Juli bertanya,”Ada apa, Ni?”. “Juli…, tolong…, putusin aku. Aku…, tak pantas menjadi pacarmu”, pinta Ghani. Juli pura-pura tidak tahu dan bertanya,”Kenapa?”. “Aku…, hanya memacarimu untuk memanas-manasi April saja. Maafkan aku”, ujar Ghani lagi dengan perasaan bersalah 2 kali lipat dari sebelumnya.
Juli tersenyum dan berkata,”Aku sudah tahu soal itu”. “Apa? Dan kau tetap menerima tawaranku yang tidak serius itu?”, tanya Ghani yang terkejut mendengar jawaban dari Juli tadi. Juli tetap tersenyum dan berkata,”Ya, karena aku ingin melihat Ghani puas dan merasa bahagia”. “Kau…..kau ini….., kau ini terlalu baik. Biarkanlah aku pergi dari hidupmu sekarang. Karena aku hanya akan menjadi benalu saja. Tolong biarkan aku pergi….”, ujar Ghani dengan rasa bersalah 4 kali lipat lebih banyak dari pada sebelumnya. Juli tetap tersenyum dan berkata,”Tak ada yang perlu kau sesali. Karena, ini semua adalah mauku. Kaliu kau memang mau pergi aku tak melarang, karena itu adalah hak mu. Tapi, ingatlah! Kalau kau butuh bantuan, kau bisa menghubungi aku”. Kemudian, mereka berdua serentak berdiri dan saling bertatapan.
“Selamat tinggal, Juli”, ujar Ghani. Juli tersenyum dan menjawab,”Bukan selamat tinggal, tapi…sampai ketemu lagi”. “Ya, sampai ketemu lagi…”, ujar Ghani. Juli menjawab,”Sampai ketemu lagi!”.

THE END
>Jena. Ha? Apa keadaannya memungkinkan untuk belajar? Sepertinya Tania memaksakan dirinya sendiri untuk hadir dan belajar di sekolah.
Wajahnya makin hari menjadi makin pucat. Akan tetapi, dia tetap bisa tersenyum dengan manisnya. Saat istirahat, dengan manisnya, Jena menyuapi Tania di taman belakang sekolah. Sepertinya penyakit Tania malah semakin mempererat persahabatan mereka berdua. Ternyata, pemandangan ini juga tak kalah indahnya dengan saat Tania masih sehat. Aku mengamati mereka berdua dari jauh, pamandangannya sungguh menentramkan hati. Akan tetapi, tetap saja aku selalu kepikiran dengan hal terburuk yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut kalau Tania….., ah! Tidak! Aku ini mikir apa sih? Aku tak boleh berfikiran buruk! Aku harus memikirkan hal-hal yang baik untuk mereka berdua!
Saat pulang, Jena tetap saja mengiringi Tania. Akan tetapi, kuamati mereka berdua dari belakang, tiba-tiba…ada darah lagi keluar dari hidung Tania. Jena panic dan berusaha menghapus darah itu. Dan tiba-tiba lagi, Tania pingsan! Tapi, saat aku akan mendekat dan menolong mereka, dengan gigihnya Jena berusaha membawa Tania dan dia membuat langkahku terhenti. Wah! Begitu manisnya persahabatan mereka! Sampai-sampai Jena rela menolong Tania sendirian. Jena membawa Tania ke rumah Tania. Akupun juga menyusul. Sampai di rumah Tania, Ibu Tania menelepon Dokter. Tak beberapa lama kemudian, Dokterpun datang dan memeriksa Tania.
Setelah Dokter memeriksa, beliau berkata kepada Ibu Tania kalau untuk sementara ini Tania harus dibawa ke rumah sakit dulu. Maka dibawalah Tania ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Jena tak pernah melepaskan tangan Tania, Jena terus saja menggenggam tangan Tania dengan erat. Sesampainya Tania di rumah sakit, dia dirawat sebentar oleh Dokter kemudian Tania dibiarkan istirahat. Selama istirahat, Tania belum juga sadarkan diri dan Jena selalu setia menunggu di samping Tania. Dari luar aku terus mengamati mereka, Tania belum juga kunjung sadar. Saking lamanya, Jena tertidur di samping Tania. Sementara kedua orang tua Tania menungguinya di luar. Ibunya terus-terusan menangis di pelukan ayahnya.
Tak lama kemudian, Tania sadar serentak dengan bangunnya Jena. Dari luar aku mendengar pembicaraan mereka berdua. “Tania…, sudah sadar?”, tanya Jena dengan senyum lebarnya. Dengan senyuman rapuh di wajahnya yang pucat Tania menjawab,”Ya…, aku…di rumah sakit, ya? Kamu…, sampai ketiduran gara-gara menunggui aku ya?”. “Ah, tidak! Aku tak apa-apa! Bagaimana dengan kamu? Apa kau tidak apa-apa? Tadi kamu sempat pingsan setelah keluar darah dari hidungmu”, ujar Jena. Tania menjawab,”Ya, aku…tidak apa-apa. Jangan khawatir”. Setelah itu Tania pun tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus menunggui Tania di sana. Malampun menjelang, aku dan Jena pamit pulang.
Tapi, kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena dipaksa Tania untuk pulang dan Jena pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena berbincang-bincang,”Jena…, kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu. Jarang-jarang ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku kecil. Jena berkata,”Tentu saja aku sangat menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku Setelah itu Tania pun tidur lagi dan tanpa bosannya, Jena terus menunggui Tania di sana. Malampun menjelang, aku dan Jena pamit pulang.
Tapi, kelihatannya sangat berat bagi Jena untuk meninggalkan Tania yang keadaannya begitu dan akhirnya Jena dipaksa Tania untuk pulang dan Jena pun pulang. Di perjalanan pulang, aku dan Jena berbincang-bincang,”Jena…, kamu sangat mengkhawatirkan Tania, ya?”, tanyaku. Dengan lesu Jena menjawab,”Ya…, aku sangat mengkhawatirkannya…apa lagi dengan keadaannya yang seperti itu”. “Tania pasti senang karena kamu selalu ada di sisinya di saat dia membutuhkan kamu. Jarang-jarang ada sahabat yang begitu sayang dengan sahabatnya, lho!”, ujarku kecil. Jena berkata,”Tentu saja aku sangat menyayanginya…, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku sendiri”.
Aku tersenyum dan kami pun pulang bersama. Esoknya, saat pulang, Jena langsung terburu-buru pergi menuju rumah sakit. Seperti biasa juga, aku mengikutinya dari belakang. Tapi, di jalan aku sempat membeli buah-buahan untuk Tania. Kan tidak enak kalau kita menjenguk tidak membawa apapun. Saat sampai di depan rumah sakit, kutarik Jena. “Eh? Yena?”, ujarnya dengan bingung. Aku tersenyum dan berkata sambil menyerahkan buah-buahan tersebut,”Hai, kalau mau menjenguk, bawa ini!”. “Terima kasih banyak!”, ujarnya sambil menerima dan kembali berlari menuju ke dalam rumah sakit. Sesampainya di kamar Tania, mereka berdua langsung mengobrol. Senyum ceria terlihat jelas dari wajah mereka berdua. Hah…, mereka ini!
Beberapa hari kemudian, Tania pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Akan tetapi, kondisi tubuhnya menjadi makin lemah saja. Terkadang sedih juga melihatnya. Sekarang, dia hanya dapat duduk di kursi roda saja. Kakinya lemas dan tak bisa bergerak. Menyedihkan sekali! Efeknya mulai terlihat. Tak banyak yang bisa dilakukan seseorang di atas kursi roda. Tapi, dengan senang hati Jena mengantar Tania jalan-jalan ke sana ke mari. Tak ada satupun kesedihan di wajah mereka berdua. Aduh!!! Mereka ini tegar sekali! Aku jadi iri melihatnya! Suatu hari, saat Jena dan Tania sedang berjalan-jalan di taman, hujan turun. Dengan cepat Jena langsung memutar kursi rodanya dan mencari tempat yang teduh.
Setelah itu, mereka berteduh dan menikmati hujan bersama. Hah…! Sungguh pemandangan yang indah!!! Hari demi hari berlalu dan terus berlalu. Waktu bersama mereka berdua menjadi semakin singkat bersamaan dengan umur Tania. Memikirkan hal itu saja sudah membuatku sedih tak tertahankan. Entah bagaimana jadinya kalau hari itu datang. Akan tetapi yang terpenting sekarang bukanlah masa depan melainkan masa sekarang. Aku berharap akan ada suatu keajaiban luar biasa yang akan dialami kedua sahabat ini. Semoga saja! Saat ini, tubuh Tania semakin melemah, dia lebih sering mimisan dari pada biasanya dan rambutnya mulai rontok karena terapi yang disarankan oleh dokter.
Pada awalnya, Tania agak minder, tapi…karena disemangati oleh Jena terus-terusan, akhirnya Tania bisa menerimanya dan tak mempermasalahkannya lagi. Suatu hari, Jena mengajak Tania untuk shopping di Mall bersama. Wah! Di Mall, terlihat mereka berdua mengomentari barang yang dipilih satu sama lain. Mereka tertawa-tawa seolah-olah Tania itu tak sakit. Setelah lelah berbelanja, mereka istirahat sejenak di sebuah Café. Di sana, mereka heboh mencemongi muka satu sama lain. Hahaha! Lucu! Mereka sampai di tegur oleh manager Café. Saat mereka membersihkan wajah masing-masing, mereka malah main air. Walah! Dan…, ngomong-ngomong kenapa tiap aku ingin mengintai mereka, selalu saja diberi kesempatan? Haha! Beruntunglah aku! Tiba-tiba, Tania kembali mimisan dan lemes. Dengan segera, Jena langsung membawanya pergi ke rumah sakit dibantu aku.
Di rumah sakit, kata Dokter, Tania hanya kecapean saja dan harus beristirahat selama beberapa hari. Dengan penuh rasa penyesalan, Jena berkata,”Maaf Tania, gara-gara aku yang mengajakmu jalan ke Mall, kamu jadi begini”. “Tidak perlu minta maaf, justru aku berterima kasih kepadamu Jena, yang tadi itu sangat menyenangkan sekali!”, bantah Tania dengan senyum manisnya. Wajah Jena mulai berseri dan dia kembali bertanya,”Benarkah?”. “Ya, tentu saja!”, balas Tania lagi dengan senyumnya. Jena berkata lagi,”Syukurlah”. Oh ya, sudah 5 bulan berlalu sejak vonis Dokter itu. Berarti, waktu yang tersisa sangat singkat. Hah…! Mengapa waktu itu sangat cepat berlalunya? Hah! Sebal aku dibuatnya!
Karena esok adalah hari libur, Jena ingin menemani Tania di rumah sakit. Tapi…, kenapa feelingku tidak enak begini? Perasaan yang aneh dan enggan hilang! Semoga tak akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Malamnya, kulihat dari luar, Tania dan Jena terlelap bersama. Tidur mereka terlihat sangat pulas sekali. Esoknya…, saat aku membuka mata, aku langsung melihat Tania dan Jena. Mereka berdua masih tertidur pulas. Karena itu, kuputuskan untuk pergi ke toilet sebentar, akan tetapi, aku tersadar akan sesuatu dan langsung masuk ke kamar Tania. Kuperhatikan wajah mereka berdua dan……ternyata benar! Wajah mereka berdua benar-benar pucat! Kutekan bell untuk memanggil Dokter dan suster lalu kusentuh wajah mereka berdua. Dingin….dingin bagaikan es……..kenapa? kenapa ini bisa terjadi?
Dokterpun datang dan mulai memeriksa mereka berdua. Aku terdiam dan bersandar ke dinding. Kuharap Dokter tak mengatakan apa yang ada difikiranku saat ini. Setelah Dokter memeriksa dan ternyata……………benar dugaanku! Tania……dan Jena……..mereka berdua meninggal pada saat yang bersamaan. Air mataku tertumpah! Kalian tahu apa yang aku rasakan? Aku merasa sangat lega. Karena, tak ada diantara mereka yang perlu menderita karena harus sendirian. Mereka meninggal bersama dan akan selalu terus bersama. Ini benar-benar mengagumkan…, takdir yang indah. Mereka dibiarkan untuk tetap bersama bahkan sampai akhir hayat mereka berdua. Ternyata sampai segitunya persahabatan mereka! Indah sekali!

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar